Ketika Google Dianggap "mahatahu"

Pernah suatu ketika, saya mendengar dua orang berbincang di kedai kopi tentang pengumuman kelulusan CPNS. “Coba kamu lihat di google, mungkin pengumumannya sudah keluar,” kata seseorang kepada temannya yang sedang meneguk kopi. Mendengar saran  tersebut, si teman langsung membuka google menggunakan android. “Ada?” si orang tadi kembali bertanya.

“Tidak ada”, jawab si teman yang sedari tadi terlihat sibuk menatap layar android.

“Tidak mungkin tidak ada, sekarang semua ada di google.”
“Sudah dari tadi aku cari tidak ada.”
“Coba kamu cari lagi, pasti ada.”

Mereka terus berdebat selama beberapa menit. Yang satu terus memaksa agar pengumuman itu ada di google. Sementara yang satu lagi terus berusaha mencari. Tapi yang dicari tak juga muncul.

Saya tetap duduk di tempat tak bergerak. Sebisa mungkin mencoba menguping perdebatan mereka yang tak juga reda.

Sebenarnya apa yang terjadi?

Meskipun belum sempat melakukan riset serius, tapi saya berani mengklaim bahwa perdebatan dua orang ini dilatari oleh adanya waham bahwa google “mahatahu.” Saya melihat kejadian ini sebagai bentuk “kelatahan” dalam memahami mesin pencari bernama google.

Kelatahan ini menyebabkan munculnya keyakinan bahwa google menyediakan semua informasi yang dibutuhkan manusia di zaman ini. Bukan tidak mungkin kelatahan ini akan berdampak lebih jauh sehingga orang-orang akan mencari dompet hilang melalui google. Akhirnya google akan dianggap sebagai dukun sakti.


[Tenor](https://tenor.com/search/cartoon-ghost-girl-gifs)
Kondisi ini biasanya melanda teman-teman kita (mungkin oknum) yang baru berkenalan dengan internet pada zaman android. Mereka akrab dengan google seiring dengan kepemilikan android. Mereka bertemu dengan media sosial juga melalui android. Dengan kata lain, android adalah jembatan utama  yang mempertemukan mereka dengan berbagai informasi baru yang sebelumnya tidak pernah mereka kenal.

Tanpa bermaksud merendahkan, hampir dapat dipastikan bahwa  mereka (oknum) tidak pernah merasakan bagaimana rasanya antre berjam-jam di warnet hanya untuk mengirimkan email. Mereka tidak pernah tahu bagaimana asyiknya chatting dengan fasilitas yahoo messengger, jauh sebelum media sosial semisal facebook berkobar-kobar.

Kenyataan inilah yang menyebabkan hadirnya kelatahan tanpa disadari. Seperti diketahui, bahwa persentuhan yang tiba-tiba dengan hal-hal baru memang cenderung melahirkan “kelatahan.” Dan, cuplikan perdebatan di atas adalah bagian dari “kelatahan” yang tak pernah disadari. Sama halnya dengan penyebar hoax di media sosial. Sama latahnya.

Post a Comment

0 Comments