Lamunan Si Jubun

Dengan langkah pelan dia berjalan meniti pematang tambak yang tampak becek. Hujan baru saja reda, tapi rintik-rintik kecil masih menitis dari langit yang belum juga cerah.

Dia berjalan mondar-mandir. Ke barat, lalu ke timur. Ke barat lagi, ke timur lagi. Entah berapa kali tapak kakinya menginjak pematang yang semakin becek.

Dia terus saja begitu sampai beberapa menit. Mungkin dia sedang mencari tempat untuk bisa duduk bersila. Tapi, tak ada bagian tanah yang kering. Semuanya licin tersiram hujan.

Dia masih terus melangkah dengan posisi tangan di belakang. Tangan kanannya menggenggam pisau kecil. Ujung pisau tampak mengarah ke bawah.

Tiba-tiba dia berhenti. Rupanya dia menemukan sebuah batu kecil di ujung pematang. Lelaki bertubuh gempal itu pun duduk dengan posisi setengah jongkok.

Pisau kecil itu ditusuk-tusuknya ke tanah. Dia terus menusuk. Semakin lama semakin kuat.

Featur Epics

“Brengsek! Bajingan! Kurang ajar!”

Dia tampak berteriak seorang diri. Tak jelas siapa yang telah membuatnya begitu marah sehingga mukanya menyala-nyala.

Pisau itu terus ditusuk ke tanah yang sepintas sudah mirip adonan kue. Mulutnya terus mencaci memecah keheningan senja.

Tak seorang pun terlihat di sana. Hanya dia sendiri di tengah tambak luas tak berpenghuni. Berteriak dan terus berteriak.

Tiba-tiba saja teriakan terhenti. Mungkin karena kelelahan. Dia pun bangkit sembari mengipas-ngipas celananya. Dia berdiri menghadap ke arah barat. Sebentar lagi malam.

“Aku harus membalas dendam ini. Tak boleh kubiarkan mereka merusak harga diriku. Memang siapa dia, brengsek!”

Teriakan caci maki telah berganti gerutu dengan gemuruh yang tak lagi meledak-ledak. Dia terus bergumam sendiri sampai akhirnya terdiam tiba-tiba. Bersuara lagi, diam lagi. Bersuara lagi…

Sesekali pisau kecil itu diangkatnya tinggi-tinggi, diturunkan dan diangkat lagi.

Dan, hari pun telah gelap.

“Dendam harus kubalas. Tapi…”

Dia seperti dilanda kebimbangan. Ada ketakutan di hatinya. Dendam dan rasa takut telah bertarung hebat. Berkecamuk. Bercampur-baur. Bertempur!

Malam semakin gelap. Dia pun larut dalam lamunan. Pisau kecil itu masih digenggam kuat.

“Dendam harus kubalas,” dia kembali mengulang kata-katanya. Sekali, dua kali, tiga…

“Tuup!”

Tiba-tiba pisau kecil terpacak di punggungnya. Dia pun rebah dengan pisau masih tergenggam.

Pinterests

“Kau terlambat…”

Tak jelas dari mana suara itu muncul.

Hujan kembali turun. Dan, dendam pun mengalir…

Post a Comment

0 Comments