Rumoh Geudong

Rumoh Geudong

Buku dengan judul Rumoh Geudong ini ditulis oleh Dyah Rahmany P dan diterbitkan LSPP pada 2001. Dalam penulisan buku ini melibatkan beberapa Tim Investigasi, di antaranya Dalhar Shodiq, Heri Suhadi dan Zulfikri Zamzami dengan penyunting Nezar Patria.

Kata Pengantar buku ini ditulis oleh Otto Syamsuddin Ishak. Dalam pengantarnya, Otto menjelaskan bahwa buku ini merupakan hasil usaha dari LSM Cordova, sebuah LSM yang fokus pada pengembangan masyarakat sipil.

Rumoh Geudong adalah salah satu kamp dari sekian banyak kamp penyiksaan yang tersebar di Aceh pada masa berlakunya status Daerah Operasi Militer (DOM). Ada banyak sekali bentuk penyiksaan terhadap rakyat Aceh di Rumoh Geudong. Rakyat yang dicurigai sebagai bagian dari Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) disiksa di luar batas kemanusiaan dan bahkan diperkosa di kamp ini.

Pada era 1989-1990 kondisi keamanan di Aceh sempat terganggu dengan keberadaan kelompok bersenjata yang melakukan penyerangan terhadap TNI dan Polisi.

Pada awalnya pihak pemerintah menduga pelaku penyerangan tersebut adalah kelompok narkotika, khususnya ganja yang memang cukup di kenal di Aceh. Namun kemudian anggapan ini berubah sehingga pemerintah meyakini bahwa kelompok bersenjata di Aceh adalah pergerakan Aceh Merdeka. Meskipun demikian, pihak pemerintah tampak enggan menyebut kelompok itu sebagai Gerakan Aceh Merdeka karena akan menguntungkan GAM jika eksistensinya diakui. Pemerintah tetap menggunakan istilah GPK atau GPL untuk menyebut kelompok tersebut.

Sisa Rumoh Geudong setelah dibakar

Menyikapi gangguan keamanan yang terus berlanjut dan tidak mampu diatasi oleh aparat keamanan di Aceh, Gubernur Ibrahim Hasan meminta restu dari para elit Aceh untuk dilakukannya operasi militer guna menumpas GPK. Salah seorang kader Golkar saat itu, Abdoellah Moeda menyatakan mendukung rencana operasi militer di Aceh.

Bekas sumur di Rumoh Geudong

Berdasarkan hasil diskusi dengan para elit Aceh saat itu, Ibrahim Hasan kemudian melaporkan kepada Presiden Soeharto yang kemudian ditindaklanjuti dengan pengiriman 5000 personil tentara ke Aceh pada Juli 1990. Pada akhir 1990, jumlah tentara di Aceh sebanyak 12.000 personil. Operasi militer pun mulai berlaku di Aceh.

Sejak saat itu, kekejaman demi kekejaman pun terjadi di Aceh. Dalam periode 1989-1998, ribuan masyarakat Aceh menjadi korban, termasuk perempuan dan anak-anak. Ada yang dieksekusi di tempat terbuka dan ada pula yang menemui ajalnya setelah disiksa di kamp tentara. Penangkapan di luar prosedur juga terus berlangsung, ditambah lagi dengan pemerkosaan dan kekerasan seksual oleh militer. Belum lagi perampasan harta benda masyarakat yang diduga mencapai 4 milyar lebih.

Salah satu tempat penyiksaan

Buku ini berhasil mencatat beberapa pelanggaran HAM yang dilakukan aparat militer. Informasi yang termuat dalam buku setebal 178 halaman ini berasal dari hasil wawancara dengan para korban yang merasakan atau menyaksikan langsung kekejaman militer di masa DOM.

Sungai tempat merendam korban

Membaca buku ini memang akan kembali memicu rasa emosi dan menggetarkan rasa kemanusiaan. Tapi ini adalah fakta-fakta yang memang wajib diketahui oleh anak bangsa–bahwa Aceh pernah merasakan luka yang begitu pedih di masa silam. Semoga tidak lagi terulang!

.

Post a Comment

0 Comments