Rencong di Kaus Kaki


Bertahun-tahun lalu, ketika tubuhnya masih kuat, hampir setiap malam Ramadan almarhum ayah saya tidak pernah shalat tarawih dan buka puasa di kampung. Jika pun ada, biasanya hanya malam pertama dan mendekati malam-malam terakhir. Selebihnya, beliau menghabiskan waktunya untuk buka puasa dan shalat tarawih “di luar.”

Biasanya mendekati waktu berbuka, beliau sudah berangkat menuju tempat-tempat yang dituju. Umumnya tempat yang dituju itu adalah masjid dan menasah yang ada di wilayah Aceh Utara dan Bireuen.

Jika lokasinya dekat, biasanya beliau berangkat sendiri dengan sepeda motor. Bila lokasi jauh beliau terkadang mengajak seorang teman. Terkadang juga beliau dijemput oleh panitia masjid menggunakan mobil. Beliau baru pulang ke rumah pada sekira pukul 11 atau 12 malam.

Selain sebagai PNS di Kementerian Agama (saat itu menggunakan sebutan Depag) ayah saya juga menekuni profesi sebagai da’i, baik sebagai khatib Jumat dan Hari Raya, juga sebagai penceramah bebas di bulan Ramadan dan juga hari-hari besar Islam.

Profesi itu telah ditekuninya sejak muda, sejak usianya masih dua puluh atau tiga puluh tahunan dan terus berlanjut sampai usianya mendekati 70 tahun.

Saya ingat betul, ketika ingin berangkat berceramah, ayah saya selalu membawa rencong kecil. Kalau memakai sepatu diselipkan di kaus kaki. Kalau memakai sarung beliau menyimpan rencong dalam jas.

Saya pernah bertanya soal rencong itu. Kata ayah, benda itu untuk pengaman (senjata) kalau terjadi apa-apa dalam perjalanan, karena biasanya beliau pulang larut malam. Kata beliau, “Kita tidak tahu kapan kejahatan itu terjadi, karena itu kita tetap harus waspada, meskipun dalam masjid.”

Saya juga masih ingat, ketika ayah berangkat, saya dan adik-adik saya yang saat itu masih remaja merasakan dua hal. Di satu sisi kami merasa khawatir karena ayah pulang larut malam dan di sisi lain kami sedikit “girang” karena kami bisa nonton TV dan bermain sampai larut malam. Kalau ayah ada di rumah, hal itu mustahil kami lakukan dan jam 10 malam kami sudah harus tidur.

Tapi ketika usia kami menginjak dewasa, setiap ayah tidak ada di rumah kami justru hanya merasakan khawatir dan kegirangan yang dulunya pernah muncul telah pudar dimakan waktu bersama usia kami yang semakin beranjak.

Ayah saya, Drs. Tgk. H. Ismail Sarong, di masa mudanya

Sampai tahun 2000 ayah saya masih bisa berceramah di masjid dan meunasah mana saja tanpa peduli soal NU dan MD, sebab konflik itu belum begitu meledak. Namun pasca tahun 2000, beliau hanya bisa berceramah dan menjadi khatib di masjid yang beliau sebut sebagai “masjid sunnah” atau di masjid-masjid yang masih netral, yang tidak mempersoalkan qunut atau tidak qunut, alias masjid moderat.

Lagi pula secara organisasi ayah saya tidak terdaftar sebagai anggota MD atau pun NU. Meskipun cara ibadah beliau dekat kepada MD, namun kalau diundang, beliau tetap datang ke acara yang berbau NU seperti tahlilan atawa nujoh.

Kata beliau, “Keyakinan kita tetap. Tapi kalau diundang kita mesti hadir sebagai solidaritas sosial, bukan sebagai ibadah.”

Karena itu ayah saya bisa menjalin hubungan dengan siapa saja tanpa saling menyindir. Beliau terlihat lunak dalam “hal-hal kecil” dan sedikit “keras” dalam soal “prinsip.”

Ayah saya berhenti menjadi penceramah saat menginjak usia 67 tahun. Saat itu almarhum ibu saya sedang sakit parah dan keluar masuk rumah sakit selama bertahun-tahun. Namun sesekali ayah saya masih mengisi jadwal khatib Jumat, tapi hanya di masjid yang tidak terlalu jauh dengan rumah.

Sejak saat itu, ayah saya menghabiskan seluruh waktunya untuk menemani ibu saya, di rumah dan di rumah sakit. Ibu saya mengembuskan napas terakhir pada 8 Januari 2015 di ruang ICU RS Arun Lhokseumawe menjelang Subuh. Saat itu hanya ayah sendiri yang menemani ibu, sementara adik saya sedang membeli obat di apotek, dan saya sedang berada di kampung, karena kami menjaga ibu bergantian.

Sejak ibu meninggal, ayah pun berhenti berceramah dan pensiun menjadi khatib karena faktor usia dan kesehatan.

Di masa tuanya, ketika ke luar rumah, ayah juga tidak lagi membawa-bawa rencong. Rencong itu sempat saya ambil dan simpan di tas saya. Saya bawa ke mana pun pergi. Tapi sekarang saya tidak tahu lagi di mana rencong itu.

Setelah menikah untuk kedua kalinya, ayah sempat menjadi khatib Hari Raya sekali lagi, di salah satu masjid di Aceh Utara. Dan itu menjadi khutbah terakhir beliau sampai beliau meninggal dalam usia 73 tahun pada 9 Januari 2020.

Allahummagfirlahuma.

Post a Comment

0 Comments