Ketika Selebaran Dianggap Sebagai Agama

Sampai saat ini, “kehebohan” terkait selebaran standarisasi warung kopi di Bireuen belum juga berhenti. Perang argumen di media sosial semakin melebar. Dan saya sendiri turut ambil bagian dalam perdebatan paling kacau tahun ini, khususnya di Aceh.

Perdebatan tentang selebaran ini tampaknya telah sukses menduduki peringkat kedua setelah perdebatan antarpedukung capres.

Tentang sikap pribadi saya terkait selebaran ini sudah saya tulis sekadarnya di media online acehtrend.com dengan tajuk Dap-Dap Tum Syariat Islam di Bireuen

Saya juga telah menulis beberapa status di facebook terkait selebaran yang menghebohkan itu.

Keterlibatan saya dalam perdebatan itu adalah bentuk tanggungjawab moril saya sebagai warga masyarakat secara personal dan juga sebagai umat beragama (muslim).

Apa yang saya sampaikan dalam beberapa tulisan dan juga status di facebook adalah murni pendapat pribadi. Dengan kata lain, saya sama sekali tidak mewakili siapa pun, tidak diminta oleh siapa pun dan tidak dibayar oleh siapa pun. Saya hanya menggunakan kemerdekaan saya untuk mengemukakan pendapat.

Dari 14 poin yang termaktub dalam selebaran tersebut, saya hanya mempersoalkan empat poin saja yang menurut saya masih berpeluang didiskusikan guna terbinanya maslahat bagi semua pihak.

Kenapa saya menyebut poin-poin itu masih bisa didiskusikan? Kenapa pula saya berani memprotes?

Bagi saya, selebaran yang beredar itu hanyalah produk pikiran manusia yang sama sekali  tidak sakral. Karena ia produk manusia, maka dengan sendirinya ia tidak bersifat final dan tidak pula absolut.

Dalam keyakinan saya sebagai muslim, hanya al-Qur’an dan sunnah yang shahih yang tidak boleh dikiritik, sebab keduanya memuat teks-teks suci yang harus diimani tanpa reserve.

Ada pun segala bentuk interpretasi terhadap kedua sumber ini hanyalah pikiran manusia yang bisa benar dan bisa keliru sesuai hakikat kemanusiaan itu sendiri. Artinya, interpretasi tidak secara otomatis menjadi suci sehingga peluang kritik tetap terbuka.

Selebaran yang menghebohkan Bireuen saat ini adalah salah satu bentuk interpretasi terhadap syariat dan selebaran itu sendiri bukanlah syariat.

Dengan demikian jika ada orang yang mengkritisi poin-poin dalam selebaran tersebut tidak secara serampangan dapat dituduh sebagai mengkritisi syariat. Tapi sayangnya, sebagian kita terjebak dalam simplifikasi (penyederhanaan) masalah sehingga dengan mudah saja melabeli “pengkritik” poin selebaran sebagai anti syariat.

Vonis semacam ini adalah pengkhianatan terhadap akal sehat.

Post a Comment

0 Comments