Saatnya Menjadi 'Santri Bodoh'

Sebenarnya sangat berat bagi saya untuk menulis judul semacam ini. Bukan saja tidak sesuai dengan hati nurani, mengingat saya sendiri juga bekas santri, tapi penyebutan ‘santri bodoh’ juga memiliki dampak sosiologis, di mana hal ini akan memicu kemarahan kalangan santri.

Tapi, bagaimana pun pikiran-pikiran negatif mestilah dibuang jauh-jauh karena ia tidak memberi manfaat apa pun, bagi siapa pun. Pikiran negatif hanya akan menjebak seseorang dalam kebencian yang tiada ampun.

Jujur, saya berani menulis frasa ‘santri bodoh’ setelah membaca satu berita di Serambi Indonesia (28/12/2020) dengan tajuk “Kelompok Teroris JI Incar Santri Cerdas.” Usai membaca judul, sebelum melihat isi, saya langsung terpikir bahwa satu-satunya cara agar selamat dari incaran teroris adalah dengan menjadi ‘santri bodoh.’

Saya pikir ini adalah pilihan paling rasional.

Seperti kata berita tadi bahwa kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) saat ini sedang mengincar santri cerdas dari pondok pesantren. Prioritas mereka adalah santri ranking 1 sampai 10. Katanya, santri-santri cerdas ini akan dipersiapkan sebagai calon pemimpin baru di tubuh JI.

Katanya lagi, nanti para santri cerdas itu akan diajari ilmu perbengkelan, pelatihan penyergapan dan juga diajarkan cara menggunakan senjata api. Selanjutnya mereka akan dikirim ke Suriah untuk mengikuti pelatihan militer agar bisa merakit senjata api dan membuat bom.

Jika memang demikian jadinya, bukankah ini mengerikan? Menjadi santri cerdas bukannya membahagiakan, tapi justru menakutkan karena berpotensi direkrut oleh teroris.

Lalu apa yang harus dilakukan agar tidak direkrut teroris? Dalam kondisi ini pilihannya cuma satu, menjadi ‘santri bodoh’ atau minimal berpura-pura bodoh di depan teroris.

Nantinya kondisi ini lambat laun akan membalik pandangan dunia pesantren. Mereka harus berpikir sekuat tenaga untuk bisa melahirkan ‘santri bodoh’ dan sebisa mungkin mencurigai santri cerdas. Ini adalah satu-satunya cara agar pesantren terbebas dari terorisme.

Di titik ini, mungkin kita bisa menyimpulkan bahwa dunia begitu cepat berubah. Dulu, santri cerdas diagung-agungkan sebagai capaian yang cukup prestisius dan ‘santri bodoh’ kerap digunakan sebagai simbol “kemalangan” dan kegagalan pesantren dalam mendidik.

Tapi sekarang, atau setidaknya di masa depan, kondisi akan segera berubah. Santri cerdas akan dianggap sebagai “bencana” karena bisa terjebak dalam terorisme, sementara ‘santri bodoh’ akan menjadi anugerah sebab mereka selamat dari incaran teroris.

Memang ada sedikit kebingungan di sini. Kecerdasan yang dengannya seseorang bisa memilah dan memilih justru menjadi potensi untuk terjebak dalam terorisme. Sementara kebodohan yang dengannya rasa fanatisme buta dibangun justru menjadi penyelamat. Aneh memang, tapi mungkin ini adalah ‘kehendak dunia’ yang ingin menyegarkan diri di tengah hiruk pikuk informasi yang melimbah sehingga roti dan sampah sulit dibedakan.

Terakhir, kalau nantinya ada santri cerdas yang tiba-tiba bodoh, jangan dimarahi. Siapa tahu mereka lagi menyamar.

Post a Comment

0 Comments