Internet, Dulu dan Kini

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 08 November 2015

Dulu, ketika saya masih kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry pada tahun 1999, saya tinggal di Lr. Jati Sektor Barat Kopelma Darussalam di sebuah rumah sederhana yang dibeli oleh ayah saya pada sekira tahun 1998. Pada masa konflik Aceh sedang memuncak (1999-2004), rumah saya tersebut sempat menjadi “markas cadangan” pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Aceh Rayeuk (secara detil akan dikupas dalam tulisan lain).

Seingat saya, tahun 1999 (usia saya masih 18 tahun) komputer masih menjadi barang mahal yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Saya belajar komputer pada seorang teman bernama Fauzan. Saat ini beliau bersama istrinya (kemenakan almarhum Abdullah Syafi’i) bermukim di Aceh Jaya dan berprofesi sebagai seorang guru. Waktu itu Fauzan membuka usaha pengetikan di rumahnya, pada saat waktu luang saya mendatangi Fauzan untuk belajar. Setelah belajar beberapa bulan, Alhamdulillah jari-jari saya sudah mulai lancar meloncat-loncat di atas keyboard. Saat itu, saya juga sudah mulai akrab dengan program-program “kurang penting” semisal Corel Draw, Photoshop, Power Point dan sesekali sok-sok ahli juga di page maker. Ini terjadi pada tahun 1999, sekira 16 tahun lalu.

Pada tahun 2000, saya (sebagai ketua panitia) bersama teman-teman Front Mahasiswa dan Pemuda Aceh Jeumpa (Jeumpa Mirah) yang saat itu dipimpin oleh Faurizal Moechtar juga sempat mengadakan pelatihan komputer bagi mahasiswa asal Bireuen di Banda Aceh. Kami mengajarkan komputer kepada mahasiswa dalam keadaan kami sendiri pun masih belajar.

Pada saat itu (tahun 2000) saya juga sering “bertamasya” ke sekretariat Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) di kawasan Peunayong Banda Aceh.  Di sekretariat SIRA tersebut saya bertemu dan berkenalan dengan rekan saya, Taufik Al-Mubarak (penulis buku Aceh Pungo). Meskipun sama-sama kuliah di IAIN, tapi saya kenal saudara Taufik di sekretariat SIRA, bukan di IAIN. Di sekretariat SIRA ini pula saya kadang-kadang “ditugaskan” oleh senior saya, Faurizal Moechtar, Faisal Ridha dan Muhammad Shaleh untuk mengetik bermacam-macam surat. Selama berada di sini saya semakin “mesra” dengan sosok makhluk bernama komputer.

Media untuk menyimpan data waktu itu masih berupa disket. Hampir setiap mahasiswa memiliki disket untuk menyimpan bahan-bahan kuliah. Kalau disket ini hilang maka tamatlah riwayat. Sekarang media disket ini sudah digantikan oleh flash disk yang bisa digunakan untuk menyimpan ratusan atau bahkan ribuan file.

Pada tahun 1999 saya juga sudah mulai berkenalan dengan internet. Untuk menguasai dunia internet ini, saya tidak belajar dan hanya bermodal “kotak-katik” di warung internet (warnet) yang saat itu masih lumayan langka, kadang-kadang harus antri. Waktu itu saya sering menghabiskan waktu untuk internetan di warnet Gallery Darussalam dengan modal Rp. 4000,- perjam. Seingat saya layanan komunikasi internet “paling top” saat itu adalah yahoo messenger yang oleh sebagian anak muda digunakan sebagai media cari jodoh, karena bisa chating plus webcam. Saya juga ingat dengan program ICQ yang bisa digunakan untuk kirim sms ke HP. Saat itu saya juga sudah mulai berkenalan dengan dunia blog, meskipun masih amatiran karena hanya bermodal trial and error.

Media Sosial

Waktu terus berjalan dan musim pun terus berganti dalam gerak dunia yang terus berubah. Jika dulu komputer Pentium II menjadi “primadona”, kini ia telah tergerus zaman dan ditinggalkan oleh para penggemarnya. Dulu, untuk menggunakan jasa rental kadang-kadang harus antri, sekarang anak SMP saja sudah dengan penuh gaya menenteng laptop. Kedai-kedai kopi saat ini yang menyediakan layanan wifi tidak ubahnya seperti gedung “bursa efek”, dengan pemandangan satu meja satu laptop.

Fenomena laptop pun tidak berlangsung lama setelah kemunculan smartphone. Masyarakat kita pun semakin akrab dengan dunia internet (sekarang disebut dunia maya). Tidak heran jika anak-anak usia sekolah sudah memiliki berbagai akun di media sosial. Bahkan “Pak Tua” di kampung-kampung yang sudah berumur 60 tahun pun memiliki akun facebook. Menurut pengakuan, akun facebook tersebut mereka buat di kedai-kedai HP dengan membayar Rp. 20.000,-. Luar biasa. Zaman semakin berubah.

“Budaya” Share Link

Menjamurnya pengguna media sosial dan semakin akrabnya masyarakat dengan dunia internet, dari yang paling kecil sampai yang paling tua, terkadang membuat kita “mati ketawa”. Pernah suatu ketika, seorang mantan murid saya di SD (sekarang sudah kuliah) mengirimkan pesan kepada saya via inbox di facebook. Pesan tersebut berupa link tulisan seseorang di blog. Murid saya meminta saya untuk membuka link tersebut. “Pak, ci neubuka link nyan, inan lengkap dituleh bahwa wahabi nyan sesat Pak. Lon peugah karena sayang keu droeneuh Pak bek sampe seusat” (coba bapak buka link itu, di situ lengkap tertulis kesesatan wahabi, saya sampaikan ke bapak, karena saya sayang bapak jangan sampai sesat). Hal pertama yang saya lakukan setelah membaca pesan ini adalah “tertawa”. Awalnya saya ingin membalas bahwa saya juga bisa membuat tulisan semacam itu, tapi saya menunda dan tidak jadi membalas.

Pada kesempatan lainnya, seorang “Pak Wa” di kampung menelpon saya untuk membantu melihat pengumuman kelulusan anaknya di sekolah. Katanya ada di internet, saya pun menanyakan alamat websitenya. “Pak Wa” menjawab: “hanapu, kabuka ju internet, kakalen ju inan, pasti na. Jino mandum kana bak internet.” (kamu buka saja internet, pasti ada. Sekarang semua ada di internet). Untuk membantu si “Pak Wa”, bisa saja menggunakan mesin pencari semisal google, namun “keyakinan” bahwa segala sesuatu ada di internet, ini yang membuat saya kadang-kadang harus ketawa. Takutnya kerbau hilang pun akan dicari di internet.

Dalam kesempatan lain, saya melihat beberapa akun yang terlibat perdebatan dalam sebuah grup facebook. Akun-akun tersebut saling “perang link” satu sama lain. Setiap komentar dibalas dengan link yang berisi artikel sesuai selera. Sebuah akun nampak memprotes akun lain yang menempelkan link dari blog gratisan seperti blogspot dan wordpress. Dalam komentarnya ia menulis bahwa sumber dari blogspot itu tidak akurat, kalau mau akurat harus cari link dari blog/website yang berakhiran “com” (maksudnya domain com). Lagi-lagi kita harus tertawa, jika domain blog seperti com, net, org dan co dijadikan alat untuk mengukur kesahihan sebuah tulisan. Lagi pula, untuk domain tersebut saat ini bisa didapatkan dengan harga murah meriah. Blog saya khairilmiswar.com hanya 200 ribu pertahun. Kita harus paham bahwa keshahihan informasi/ tulisan itu dilihat dari metodologi dan sumber-sumber yang dipakai, bukan dari domain!

Demikianlah fenomena pengguna internet saat ini. Ramai orang yang terlihat “panik” dan salah tingkah ketika berhadapan dengan internet. Semestinya kita paham, bahwa internet ibarat hutan belantara. Di sana ada harimau, kambing, kera, babi, rusa, kancil dan berbagai jenis burung. Di sana juga ada tumbuhan dan buah-buahan yang bisa menjadi makanan, dan ada pula tumbuhan dan buah-buahan yang mengandung racun. Pandai-pandailah memilah dan memilih! Wallahu A’lam. []

Post a Comment

0 Comments