Teumeunak Bukan Warisan Endatu

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 12 Desemberi 2015

Setelah video yang berisi ceramah dari seorang pempimpin zikir di Aceh tersebar luas di dunia maya, berbagai respon pun bermunculan. Pro kontra tidak dapat dihindari, dan saya sendiri berada di pihak yang kontra.

Pihak yang pro pada ceramah yang disisipi dengan makian tersebut pun menggunakan berbagai “dalil” untuk membenarkan tindakan yang sudah terlanjur itu. Sebaliknya, pihak yang kontra juga tidak tinggal diam, dengan menggunakan berbagai argumen, mereka (dan termasuk saya) juga mencoba meluruskan kekeliruan yang oleh sebagian pihak terlanjur dianggap benar.

Dari sejumlah “dalil” yang diajukan, saya menemukan “dalil” yang lumayan menggelikan. Menurut mereka (pihak yang pro) kata-kata kotor yang diucapkan oleh Samunzir (pimpinan Majelis Zikrullah Aceh), adalah hal yang lumrah dan biasa saja, tidak ada yang aneh, dan bahkan oleh sebagian kalangan menyebutnya sebagai sebuah keberanian. Masih menurut mereka, aksi teumeunak (caci-maki) yang dilakukan Samunzir dianggap sebagai wujud “asli Aceh” yang dalam bahasa kerennya disebut “Aceh bangets”. Kalau sudah ada teumeunak itu berarti sudah “Aceh bangets”. Konsekwensi dari keyakinan ini, bahwa orang yang tidak teumeunak masih diragukan ke-Acehannya. Benarkan begitu?

Sebelum terlalu jauh, baiknya kita lacak dulu makna dari teumeunak itu. Ini penting untuk menghindari “penyakit salah tangkap” alias gagal paham dan akhirnya berpengaruh pada salah pikir. Dalam Kamus Bahasa Aceh-Indonesia Jilid 2 yang ditulis oleh Abobakar dkk (1985: 964), kata teunak diartikan sebagai memaki dan mencarut. Kata lainnya yang memiliki kesamaan makna dengan teunak adalah seueb  yang artinya mengeluarkan kata-kata kotor yang menyakitkan hati seseorang (855). Kata teunak juga serumpun dengan kata seurapa yang berarti menyumpah dan mengutuk (870). Sementara dalam Kamus Bahasa Aceh-Indonesia Jilid 1 (1985: 95), kata teumeunak semakna dengan kata hȏb-hȏb yang artinya memaki. Kata teunak (teumeunak) juga sinonim dengan carȏt yang artinya juga memaki memakai kata-kata keji dengan maksud menghina orang lain (120). Dengan demikian pahamlah kita bahwa kata teumeunak, seumeuseub, ceumarȏt dan seurapa adalah sinonim. Kata-kata itu jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia akan bermakna mencaci, memaki dan mengutuk.

Sekarang mari kita bertanya, benarkah kata-kata itu mencerminkan identitas “Aceh bangets?” Dalam konteks penguasaan kosa kata jawabannya adalah “ya”. Artinya, cuma orang-orang Aceh asli yang kenal kata-kata itu. Dari sisi ini, orang yang fasih mengucapkan kata-kata (maaf) ekboh wa akhawatuha patut diapresiasi karena telah mewariskan kata-kata “warisan endatu.” Jika kata-kata ini tidak dilestarikan tentu suatu masa dia akan punah, dan ketika dia punah patutlah kita menangis, karena telah menyia-nyiakan “warisan endatu.

Pertayaan selanjutnya, bagaimana posisi kata-kata itu dalam konteks adab orang Aceh? Bukankah orang Aceh itu beradab? Serambi Mekkah lagi? Bukan “Serambi entatu”. Benarkah teumeunak itu dianggap biasa saja oleh endatu kita? Apakah endatu kita “tukang teumeunak?

Dalam buku Peribahasa Aceh (hadih maja) yang ditulis oleh Hasyim M.K (1977: 24) tertulis: “Pantang Aceh: Tacarȏt, tateunak, tatrom, tasipak, tapѐh ulѐe, tacukѐh keueng, sinan ureung le binasa. Pantang Aceh lom teteuӧh biek deungon bangsa, nyan pih pantang raya (pantang bagi masyarakat Aceh dicaci, dimaki, ditendang, disepak, diketok kepala, dan disentuh dagunya. Pantang pula bagi masyarakat Aceh disebut keturunannya atau bangsa).

Kutipan di atas adalah hadih maja keuneubah endatu dan pusaka ureung tuha, bukan produk “kelompok anti zikir.” Dalam hadih maja itu secara tegas dan terang benderang disebutkan bahwa teumeunak, ceumarȏt, seumeuseup dan seurapa adalah pantangan umum bagi masyarakat Aceh. Sekarang kita balik bertanya, siapa yang “mengkhianati” alias “durhaka” kepada endatu? Masih beranikah kita menyebut bahwa “tukang teumeunak” sebagai “Aceh bangets?” Jawab sendiri. Titik.[]

Post a Comment

0 Comments