Kautsar, "Luthernya" Partai Aceh

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 09 April 2017

Ini adalah tulisan kedua saya tentang sosok politisi muda Aceh yang juga mantan pejuang jalanan yang tetap “lancang” bersuara dalam desingan peluru di masa lalu. Dalam tulisan pertama beberapa waktu lalu, saya mencoba mengoreksi, untuk tidak menyebut mengkritik statemen politik Kautsar terkait keterlibatan ulama dalam politik yang menurut saya terlalu lebay. Dalam tulisan ini, sebagai seorang penulis merdeka, saya akan mencoba mengapresiasi sikap politik Kautsar yang baru-baru ini menuai kontroversi dan bahkan mendapat kritik dari internal Partai Aceh, tempat ia bernaung. Kautsar telah menunjukkan sebuah sikap berani yang muncul dari kader partai politik berbasis “komando” semisal Partai Aceh.

Apa yang telah dilakukan Kautsar melalui statemen politiknya beberapa waktu lalu adalah pekerjaan besar dan berat. Tentu tidak mudah bagi seorang kader “partai komando” untuk mengeluarkan statemen yang sedemikian tabu dan bahkan paradoks dengan doktrin-doktron kepatuhan dalam tubuh Partai Aceh. Mungkin tidak berlebihan jika saya menyebut Kautsar sebagai “Luther” nya Partai Aceh yang siap tidak populis dan bahkan siap “diusir” dari bahtera politik yang telah membesarkan namanya.

Sebagian kalangan memprediksi, akibat statemen politiknya yang syahdu itu, Kautsar yang dalam beberapa tahun terakhir sedang naik daun diperkirakan akan segera turun daun. Posisi Kautsar yang berada “di atas angin” selama menjabat ketua fraksi Partai Aceh diperkirakan juga akan segera diklep akibat kehabisan angin (desakan internal), dan bukan karena putoeh teuraje (integritas). Dan ini adalah pertaruhan besar bagi Kautsar. Untuk itu, tabik tiada henti saya haturkan kepada Kautsar. Saya juga mengajak seluruh masyarakat Aceh untuk mengangkat tabik berjamaah kepada sosok politisi muda sebagai seorang mujaddid politik Aceh abad ini.

Akibat statemen politiknya di Harian Serambi Indonesia, saat ini Kautsar terus dibully oleh keluarga besarnya dari Partai Aceh. Kritikan pedas terhadap Kautsar pertama sekali muncul dari petinggi Partai Aceh yang menyebut statemen Kautsar sebagai pernyataan pribadi dan tidak mewakili sikap politik Partai Aceh. Aksi bully ala medsos pun bertaburan. Dan aksi ini tentunya tidak aneh. Jangankan politisi, di negeri kita ini, teroris pun dibully.

Gelora kritik juga berdatangan dari para mantan kombatan yang merupakan basis utama Partai Aceh. Seorang kombatan di Aceh Timur sebagaimana dilansir politikaceh.co, menyebut Kautsar sebagai bube dua jab (bermuka dua) dan bahkan Kautsar juga dihadiahi stempel keramat, sebagai “pengkhiat bangsa Aceh.” Sebuah stempel liar yang terus menyasar jidat-jidat para “mujaddid” di tanah ini.

Namun demikian, kita sangat menyayangkan sikap Kautsar yang justru melakukan klarifikasi terhadap pernyatannya ketika aksi protes bermunculan. Sebagai seorang “mujaddid” seharusnya Kautsar tetap konsisten pada sikap awalnya dan tidak perlu terpengaruh dengan nyanyian yang liriknya saja bermasalah. Biarkan mereka bersenandung mengecam, mengutuk, dan anggap saja aksi protes itu sebagai kerikil kecil dalam gerak perubahan menuju kedewasaan mereka dalam berpolitik.

Sejarah telah membuktikan bahwa gagasan brilian dan ide cemerlang memang tidak selalu disambut dengan hamparan permadani. Selalu saja ada debu dalam setiap langkah perjuangan dan debu-debu itu pula yang akan menyaksikan penyelesalan para “pecundang” yang hari ini berteriak mencaci maki. Demi sebuah pengabdian, mungkin sudah saatnya Kautsar menyelami kalimat syahdu yang pernah diucapkan oleh seorang pemimpin besar Filipina, Manuel Quezon, bahwa “kesetiaanku kepada partaiku berhenti, ketika kesetiaanku kepada negara di mulai.” Quezon mengantar sebuah pesan moral yang layak diresapi oleh setiap politisi bahwa kesetiaan kepada kemaslahatan umum adalah prioritas utama.

Namun demikian, di sebalik sikap jantan seorang Kautsar dan juga aksi penolakan dari “jamaah” Partai Aceh, tersisa beberapa pertanyaan penting. Apakah Kautsar benar-benar ingin melakukan perubahan dalam tubuh Partai Aceh dengan pola move one sebagaimana terpampang di status facebooknya? Atau mungkin statemen Kautsar beberapa waktu lalu hanya sebuah strategi untuk meraih simpati publik? Atau mungkin pula statemen itu dimaksudkan sebagai sebuah rayuan guna memberi sinyal kepada Gubernur baru, Irwandi Yusuf? Dalam skala yang lebih besar, apakah mungkin ini merupakan skenario politik yang coba dimainkan oleh Partai Aceh guna menutupi kekalahannya pada pilkada lalu? Tentunya pertanyaan-pertanyaan ini akan tetap menjadi misteri dan lenyap dengan sendirinya dalam kesunyian.

Terlepas dari segala duga-duga, sekali lagi tabik untuk Kautsar atas sikap politiknya yang tetap rasional dalam menyikapi kekalahan. Ajakan move on dari Kautsar tentu lebih rasional daripada pertaruhan potong jari yang sempat heboh beberapa waktu lalu. Dan Partai Aceh tentunya patut berbangga memiliki kader muda yang mampu menjadi “mujaddid” di “tengah “konservatisme” akut yang terus bersemai dalam tubuh partai “pejuang.” Wallahul A’lam.

Post a Comment

0 Comments