Pengungsi Mengamuk

Pada sekitar tahun 2000-an kami beserta rekan-rekan mahasiswa dan juga beberapa personel GAM terlibat dalam panitia penampungan pengungsi di Darussalam Banda Aceh.

Saat itu, kalau saya tidak salah ingat, pengungsi dari daerah Laweung Pidie ditempatkan di sebuah lapangan dalam lingkungan kampus Universitas Syiah Kuala.

Menurut informasi yang berkembang saat itu, sejumlah masyarakat terpaksa mengungsi karena kondisi di daerah mereka sudah tidak aman lagi karena konflik terus memuncak.

Kondisi yang tidak aman tersebut menyebabkan masyarakat yang tinggal di daerah-daerah “rawan” seperti Pidie dan Aceh Timur memilih untuk mengungsi demi keselamatan.

Para pengungsi ini lebih memilih menyelamatkan jiwa mereka. Sementara harta benda terpaksa mereka tinggalkan.

Di sebagian tempat, aksi pengungsian dilatari oleh tekanan dari pihak-pihak tertentu. Akibat teror-teror tersebut akhirnya masyarakat merasa terancam sehingga terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka.

@tinmiswary Cs di Darussalam, 1999

Kembali ke persoalan pengungsi Laweung. Pada suatu malam terjadi keributan di tenda pengungsi tersebut. Seorang pria terlihat mengamuk dan berteriak-teriak.

Karena pria itu terus membuat keributan, akhirnya beberapa panitia mencoba mengamankan dan membawanya ke halaman masjid Teungku Chiek Dilamnyong yang berlokasi hanya beberapa meter dari lapangan.

Setelah dilakukan wawancara ringan, akhirnya pria tersebut mengaku sudah hampir sebulan tidak berhubungan badan dengan istrinya. Hampir semua panitia dan beberapa tokoh masyarakat setempat terkejut mendengar jawaban pria tersebut.

Pria itu juga mengeluh tentang kondisi tenda penampungan yang tidak memungkinkan baginya untuk dangding bersama istrinya.

“Tenda itu selalu saja ramai, kapan kita main,” kata pria itu kepada panitia.

Dia juga membuat pengakuan “menggemparkan,” bahwa dia sudah “tak tahan lagi,” makanya mengamuk.

Akhirnya untuk mengobati si pria tersebut agar tidak lagi mengamuk, panitia menyediakan sebuah rumah kosong yang tidak jauh dari masjid.

Malam itu pria tersebut meninggalkan tenda dan “mengungsi” bersama istrinya ke rumah yang disediakan panitia.

Keesokan harinya, si pria ini tampak bugar dan tersenyum-senyum. Penyakit mengamuk tanpa alasan tersebut sudah hilang dengan sendirinya. Hari itu juga dia kembali berbaur dengan pengungsi di tenda dengan raut wajah gembira.

Nah, pelajaran apa yang dapat diambil?  Pelajarannya cuma satu, tidak semua orang yang suka mengamuk itu gila atau jahat, tapi bisa juga ada faktor lain, seperti cerita di atas.

Post a Comment

0 Comments