Demi Rakyat

Sebatang rokok tampak tertancap di bibirnya yang hitam. Tapi tak hitam-hitam kali, agak kemerahan. Tak jelas apakah rokok itu dibeli secara cash atau kredit. Mulutnya tak pernah sepi dengan benda itu, walaupun pemerintah sudah berpura-pura melarang agar tembakau itu tak dihisap.

Sebatang padam sebatang pula menyala. Tak habis-habis. Sambung menyambung. Tarikan asap dari lintingan kecil itu telah menambah kegagahannya di hadapan orang-orang.

Sambil sesekali memyembur asap ke udara, kadang pula ke muka orang-orang, dia berceramah tentang hajatnya yang belum kesampaian.

“Pada pemilu kali ini aku harus terpilih. Pokoknya harus. Strategi harus mantap. Kalian harus masuk ke seluruh lorong sampai pematang sawah. Dekati para janda. Cari anak yatim. Santuni fakir miskin! Pastikan kalender dan imsakiah masuk Masjid. Atap-atap bocor perbaiki! Bergerilya!”

Entah berapa kali kata-kata ini diulang-ulang hampir saban tahun. Kepada orang-orang yang sama. Kepada pendengar setia yang telinganya tak pernah berkembang. Telinga-telinga sumbat penuh tinja.

“Nanti kalau aku terpilih, nasib kalian akan berubah. Bekerjalah dengan giat. Perjuangan ini bukan hanya untukku, tapi juga untuk kalian. Ini adalah perjuangan kalian. Bergerilya!”

Dia terus bicara tanpa henti dalam gumpalan asap yang belum reda. Orang-orang di hadapannya terus mengangguk hampir menyentuh lutut sembari semua mulut melepas asap.

[Digest](https://digest.bps.org.uk/2015/12/21/what-kinds-of-actions-do-people-think-of-as-most-stupid/)
Tiba-tiba seorang lelaki tua datang mendekat. Dia terus mendekat dan duduk bersama pendengar-pendengar budiman yang dari tadi tak berkutik.

Melihat lelaki tua itu, beberapa pendengar telinga tuli pun bangkit. Satu persatu pamit. Hanya tinggal mereka berdua saling menatap. Tidak ada lagi suara dari orator yang tadinya garang.

“Ini sudah kali keempat kamu menjadi calon. Sudah semestinya kamu berhenti. Entah berapa luas tanah warisan telah kujual membayar hutangmu.” Lelaki tua mulai angkat suara.

“Maaf ayah. Aku harus terus berusaha. Anakmu ingin mengabdi untuk rakyat.” Suara itu terdengar halus, tak lagi berkobar.

Lelaki tua yang tadinya duduk tampak bangkit sambil mencoba meraih tongkatnya yang terjatuh. Matanya terbelalak.

“*Kah klo keuh pu. Kupeugah bahasa Indonesia hana meupom sampe payah kupeu Aceh. Abeh tanoh blang gara-gara kah eh caleg. Na kateupu?*

Mendengar suara ayahnya, rokok pun jatuh diterbang angin.

Post a Comment

0 Comments