Pemburu Buku Gratis

Ada satu “penyakit” di kalangan sebagian kita yang selalu saja mengharapkan barang gratis. Dia ingin semuanya gratis. Jika perlu, makan, minum dan pakaian pun gratis. Bahkan, untuk mendapatkan istri pun harus gratis alias *pre tek tok.*

Tidak berhenti di sini, para pecinta buku dan literasi juga tertular penyakit serupa. Mereka memburu buku-buku gratis tanpa harus mengeluarkan modal sedikit pun. Mereka rela menghadiri acara-acara peluncuran buku, asalkan mereka bisa mendapatkan buku gratis.

Pada prinsipnya memang tidak ada yang salah dari semangat mencari buku-buku gratis. Apalagi jika buku-buku itu memang direncanakan untuk dibagi gratis.

Buku-buku proyek pemerintah misalnya, tidak menjadi soal jika dibagi gratis kepada publik, sebab pembiayaan buku tersebut pun berasal dari anggaran publik.

Atau pun buku-buku profil politisi yang dibagi menjelang kampanye, juga tidak menjadi masalah, sebab buku-buku tersebut merupakan media kampanye bagi mereka yang memang semestinya gratis.

Tapi bagaimana jika buku-buku itu ditulis oleh teman kita? Dia telah menghabiskan waktu berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau mungkin bertahun-tahun untuk menulis, layakkah kita mengharapkan buku-buku itu dibagi gratis? Ini baru soal waktu, belum lagi biaya yang mereka keluarkan. Bagaimana? Pantaskah?

Foto: @tinmiswary

Tragisnya lagi, si “peminta” buku gratis adalah teman si penulis sendiri. Jika tidak diberi gratis, si penulis khawatir akan dianggap sombong, congkak, angkuh, pelit dan seterusnya.

“Aku cuma minta satu.” Kalimat ini sering diucapkan oleh si pemburu buku gratis kepada temannya. Aneh! Seharusnya, sebagai teman, dialah yang harus menjadi pembeli pertama sebagai bentuk sokongan. Tapi, dia justru minta digratiskan.

Bayangkan saja, apa yang akan terjadi jika semua yang mengaku teman bermental seperti ini. Si penulis mencetak buku 1.000 eks dan dia memiliki teman 1.500 orang. Masing-teman meminta satu, hanya satu! Apakah dia harus membagikan semua buku-bukunya kepada seluruh teman 1 eks per-orang secara gratis? Dan dia harus mencetak ulang 500 eks lagi untuk sisa temannya yang belum kebagian?

Foto: @tinmiswary

Jika kondisi ini terus dipertahankan, maka satu persatu penulis akan punah dan lenyap di muka bumi. Dan “pembunuhnya” adalah temannya sendiri yang seharusnya menjadi penolong.

Kita harus tahu, tidak semua penulis, buku-bukunya dicetak oleh penerbit mayor dengan royalti sekian-sekian. Tapi ramai dari mereka yang mencetak sendiri buku-bukunya dengan modal seadanya. Bagaimana mungkin kita berharap gratis?

Cara membantu penulis bukan dengan cara meminta gratis, tapi dengan membeli karya-karyanya. Dengan demikian, kita sudah “memperpanjang” usianya, bukan justru mempercepat kepunahan.

Post a Comment

0 Comments