Kenapa Penulis Harus Hati-Hati?

Siang tadi (05/07/18) beredar screenshoot berita dari sebuah media online di beranda media sosial (facebook). Dalam berita tersebut tertulis bahwa Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, telah menetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka.

Bagi yang suka membaca berita dengan pola sekedip mata atau sekadar melihat gambar, tentu dia tidak akan menemukan kejanggalan apa pun. Dia hanya menangkap dua kata kunci; Irwandi dan KPK sehingga alam pikirnya akan terbawa pada berita-berita serupa, bahwa Irwandi ditangkap KPK.

Padahal yang tertulis di berita tersebut justru sebaliknya; Irwandi menetapkan KPK sebagai tersangka. Beginilah jadinya jika kita membelakangi teks.

Foto: FB Risman Rachman

Bagi sebagian kalangan (pembaca), kesalahan tulisan di media tersebut tak menjadi soal, sebab menurutnya, semua orang paham bahwa itu hanya kesalahan ketik belaka. Padahal yang terjadi bukan hanya kesalahan ketik, tapi juga kesalahan nalar si oknum penulis.

Disebut salah ketik apabila kata gubernur ditulis Ibu Nur atau kata KPK diketik PKK. Tapi, pada saat kalimat KPK menetapkan Irwandi ditulis menjadi Irwandi menetapkan KPK, maka ini adalah kesalahan pikir.

Kesalahan ketik masih bisa dimaafkan, tapi kesalahan pikir tidak boleh dibiarkan, sebab ia berdampak luas dan bahkan bisa “menyesatkan” pembaca.

Dalam kondisi inilah seorang penulis harus benar-benar hati-hati agar tulisannya tidak menjadi bahan lelucon bagi pembaca.

Memang benar media harus mengandalkan kecepatan informasi, tapi bukan berarti boleh mengabaikan ketepatan. Berita yang cepat tapi tidak tepat tentu sia-sia saja, sebab pembaca hanya akan menemukan kebingungan.

Post a Comment

0 Comments