Demikian pula bagi pembaca, hidupnya menjadi hampa belaka tanpa kehadiran penulis. Bagi pembaca, keberadaan penulis adalah satu kemestian.
Keduanya; penulis dan pembaca saling membutuhkan satu sama lain. Satu pihak saja tiada, pihak lainnya pun akan menghilang.
Mungkin akan muncul pertanyaan, siapa lebih penting antara dua pihak ini? Penulis atau pembaca? Ini adalah model pertanyaan klasik di negeri kita yang terlalu suka membandingkan ini dan itu.
Dulu ketika masih anak-anak, kita juga sering berdebat dengan teman. Siapa yang paling kuat antara tentara dan polisi? Siapa lebih hebat Ahmad Albar dengan Rhoma Irama? Siapa lebih *syantiq” Meriam Bellina dengan Isabella? Inilah kerja kita dulu, banding sana banding sini.
Bagi saya, pertanyaan serupa itu menjadi bukti kesetiaan sebagian kita kepada kekonyolan. Kita selalu mempertahankan kekonyolan dengan perbandingan-perbandingan yang tidak penting.
Demikian pula dengan pertanyaan terkait posisi penulis dan pembaca juga bagian dari kekonyolan. Siapa lebih penting ayah atau ibu? *Macam* mana kita jawab? Sebab itu, tinggalkan saja pertanyaan-pertanyaan itu.
Yang jelas, penulis membutuhkan pembaca dan pembaca juga membutuhkan penulis. Selesai!
Kemudian, tidak selamanya penulis menjadi penulis dan tidak selalu pembaca menjadi pembaca. Keduanya bisa bertukar ganti. Sekali waktu seorang pembaca bisa saja bertindak sebagai penulis. Dan di waktu lain, seorang penulis pun harus menjadi pembaca.
Jika sudah begini, muncul lagi pertanyaan, siapa penulis siapa pembaca? Kenapa si penulis membaca dan kenapa pula si pembaca menulis? Tidak perlu membuang waktu menjawab pertanyaan ini. Sebab setiap orang bisa menjadi penulis sekaligus pembaca. Bahkan seorang penulis adalah pembaca pertama tulisan-tulisannya sendiri.
Terkait hubungan penulis dan pembaca, banyak juga kalangan yang meyakini seorang penulis sebagai pembaca yang lahap. Secara prinsip, saya sepakat. Dan saya menjadi tidak sepakat ketika bacaan dimaksud hanya buku belaka. Sebab bisa saja seorang penulis membaca alam dan membaca rasa.
Namun demikian, bukan berarti saya tidak menganggap penting sebuah buku. Saya sendiri menulis buku dan mengoleksi sejumlah buku, bahkan buku-buku tua yang sudah tidak ada lagi di “pasar.” Intinya, jangan batasi bacaan.
Apalagi? Seorang penulis harus mengerti pembaca. Maksudnya? Seorang penulis harus paham untuk siapa dia menulis? Ini penting diperhatikan agar pesan tulisan tersampaikan kepada pembaca. Jangan pernah menjadi penulis sombong yang menyiksa pembaca dengan segudang istilah yang umumnya berujung “si” seperti kontrasepsi sehingga pembaca harus memikul kamus setiap kali membaca tulisan kita.
Selanjutnya, pembaca juga harus mengerti karakter penulis, agar teks yang ia baca tidak dipahami secara keliru. Pembaca harus tahu tulisan siapa yang sedang ia baca dan dalam konteks mana penulis bicara.
Kesimpulannya, penulis dan pembaca harus saling mengerti. Jangan biarkan teks menjadi mati akibat jauhnya jarak penulis dan pembaca.
0 Comments