Tulisan dan Ancaman Kebebasan Berpendapat

Pasca Orde Baru tumbang di Indonesia, kebebasan berpendapat pun menemukan wujudnya di Indonesia. Sebelumnya, di era kekuasaan Soeharto, kebebasan berpendapat hanyalah kata-kata pemanis belaka.

Era reformasi telah sukses mengubah semuanya. Pers yang awalnya terpaksa menjadi “jubir” pemerintah pun telah kembali ke hakikatnya. Era reformasi telah membuka ruang kebebasan, tidak hanya pers, tapi bagi semua warga negara.

Memang tidak dipungkiri bahwa kebebasan yang lahir di era reformasi terkadang juga kebablasan dan bahkan “kurang ajar.” Namun kondisi ini tidak kemudian menjadi dalil untuk membunuh kebebasan secara serta-merta.

Sudah tidak masanya lagi sikap picik, licik dan cengeng dipertahankan. Kebebasan berpikir dan berpendapat harus tetap wujud abadi.

Dalam dunia kepenulisan, seorang penulis harus tetap mempertahankan kemerdekaannya dari keterjajahan pikir dan teror tak bermutu dari oknum-oknum “ultra-konservatif” pemakan ulat bulu yang selalu saja “kegatalan.”

Media sebagai saluran informasi publik juga harus senantiasa menjaga “marwahnya” dari “rongrongan” antek-antek *status quo* yang tak ingin eksistensinya terganggu.

Beberapa hari lalu, sebuah media ternama di Aceh terpaksa mencabut sebuah artikel opini yang ditulis seorang dosen perguruan tinggi di Darussalam. Kononnya pencabutan opini ini akibat adanya desakan dari segolongan orang di kota itu.

Pihak redaksi segera menghapus konten opini tersebut di website mereka pasca didatangi oleh beberapa tokoh masyarakat yang menuntut permintaan maaf dari penulis dan pihak media.

Pasca pencabutan opini tersebut, pihak redaksi juga memuat permintaan maaf kepada publik dan pihak-pihak yang merasa tersinggung. Permintaan maaf serupa juga disusul oleh penulis opini yang dalam pernyataanya mengaku khilaf.


Terlepas dari soal maaf-memaafkan, saya melihat kejadian ini sebagai kemunduran bagi kebebasan berpendapat di media. Hanya karena ada pihak yang merasa “tersindir,” akhirnya media pun menghapus tulisan yang sudah diterbitkan.

Post a Comment

0 Comments