Bolehkah Mengedit Sambil Menulis?

Menulis adalah mengikat pikiran dalam teks agar ia menjadi sistematis dan mudah dibaca, diingat dan disebarkan. Karena ia kerja mengikat pikiran, maka kecepatan lebih diutamakan. Sebab kerja yang lamban akan menyebabkan pikiran-pikiran itu lepas dan terbang melayang sehingga ia pun hilang entah ke mana.

Sakitnya, ketika pikiran-pikiran itu hilang, kita hanya bisa menggaruk-garuk kepala sembari mengaduh sesal, kesal dan sebal. Sebab itulah, kerja menulis harus dilakukan dengan “cepat” tanpa berlama-lama dengan persoalan teknis seperti mengedit.

Pada saat aktivitas menulis telah dimulai, baiknya kita terus mengikat pikiran itu dalam tulisan. Kita tulis saja apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran; apa saja yang datang dan apa saja yang terbayang di hadapan kita. Pikiran-pikiran yang terkadang berdatangan secara beruntun itu harus segera diikat kuat dengan cepat.

[Tin](http://khairilmiswar.com)[Miswary](http://steemit.com/@tinmiswary)
Salah satu “kebiasaan buruk” yang sering kita lakukan adalah membaca ulang paragraf-paragraf yang baru saja kita tulis. Kita sering tergoda untuk melihat-lihat kembali paragraf pertama, kedua dan ketika, padahal tulisan belum pun selesai. Dalam banyak kasus, kebiasaan ini justru bisa membuat pikiran menjadi “stagnan,” beku dan mati tak bergerak sehingga berdampak pada hilangnya ide-ide yang ingin kita tulis. Dan, ketika ide-ide itu berlari pergi, kita pun meninggalkan tulisan itu tanpa pernah selesai-selesai.

Mungkin lain orang lain pula pengalamannya. Saya pribadi, ketika sudah berniat untuk menulis, maka saya pun menulis terus, terus dan terus tanpa peduli apakah kalimat-kalimat di atas sudah benar, masih berantakan atau hancur lebur berkeping kecai. Saya cenderung membiarkan persoalan teknis untuk sementara waktu; sekali lagi, hanya untuk sementara waktu. Saya terus berusaha mengejar dan menangkap ide-ide yang sedang beterbangan di kepala untuk kemudian saya kurung dan ikat dalam tulisan.

Ketiga target tulisan sudah tercapai dengan jumlah karakter tertentu; atau semua pikiran sudah tertangkap dan terkurung dalam tulisan, saya pun berhenti sejenak sembari menikmati sebatangMarlboro Light sebagai pertanda jeda telah dimulai. Saya melarutkan diri dalam kesantaian untuk dua atau beberapa detik.

[Google.com](http://google.com)
Setelah berhenti beberapa jenak, biasanya saya akan membaca kembali tulisan tadi dari awal sampai akhir; perlahan-lahan baris demi baris. Memeriksa kalimat, penulisan kata, tanda baca dan segalanya yang terkait dengan teknis serta membuang “kotoran-kotoran” kalimat yang dianggap tidak perlu, tidak efektif atau kurang penting. Dengan kata lain, saya mulai melakukan proses editing setelah tulisan benar-benar selesai, bukan sambil menulis atau sambil berpikir.

Saya pribadi menolak prinsip sambil berenang minum air. Kalau ingin berenang saya berenang dulu sepuasnya, kemudian minum air; atau kalau minum air, minum dulu sebanyaknya, baru kemudian berenang. Sebab memadukan dua aktivitas yang tampak serupa serumpun ini akan menghilangkan kenikmatan yang sama sekali khas dan berbeda satu sama lain. Keduanya memiliki kenikmatan tersendiri. Dengan melakukannya secara terpisah, maka kita bisa mendapatkan dua kenikmatan secara lebih sempurna tanpa tergerus oleh kenikmatan lain.

Demikian pula dengan menulis, juga sebuah kenikmatan tersendiri yang harus diresapi tanpa terganggu oleh proses editing yang juga kenikmatan dalam bentuk lain. Sempurnakan kenikmatan menulis dengan fokus mengikat pikiran dalam tulisan; baru kemudian melakukan editing yang juga akan memberikan kenikmatan tersendiri.

Post a Comment

0 Comments