Kekuasaan Pengecut dan Bayangan Ketakutan

Siapa pun yang merasa kecut atas kenyataan yang dihadapinya, maka ia adalah pengecut. Meskipun berbadan tegap, bertinju bulat dan berlagak berani, ia tetap saja pengecut, sebab ia terus dibayangi oleh ketakutan sepanjang waktu.

Si pengecut takut kuasanya jatuh; takut jabatannya hilang; takut hartanya kurang; dan takut karismanya runtuh. Dia terus saja takut, ditakutkan dan seterusnya menakuti orang lain demi menutup ketakutannya yang menakutkan.

Di pentas politik, si pengecut ini mewujudkan diri sebagai pembela negeri. Padahal dia tak ubahnya seperti rayap yang akan merobohkan tiang pancang negerinya dengan “kepelanan” yang “melenakan.” Dia berseru-seru bahwa musuh telah mendekat, padahal dialah musuh terbesar bagi negerinya.

Dia menciptakan kegaduhan dan keriuhan agar tampak terzalimi sehingga simpati pun mengalir. Dengan begitu ia akan tetap kukuh menapakkan kuasa atas negeri. Ketakutan akan kejatuhan telah menjadikannya sebagai pengecut berhati bebal.

Di pentas agama dia tampil sebagai sosok berjubah panjang yang meraung-raung bersama ayunan stempel sesat yang setiap saat siap menyambar jidat-jidat tak berdosa. Agama baginya hanya kedai, tempat ia memperdagangkan ayat-ayat Tuhan demi periuk dan asap dapur.

Majalah Tempo, 7 Agustus 1976

Ketakutan akan hilangnya marwah telah menjadikan si pengecut ini menebar ketakutan dan ancaman jilatan neraka bagi para penentang titahnya yang sama sekali tak bermutu.

Bagi si pengecut ini, kebenaran harus diukur dengan kebesaran jubahnya yang mencakar-cakar. Dengan sepotong ayat Tuhan, dia mengembus karisma menembusi akal-akal mati. Baginya, ketundukan manusia-manusia “batu” adalah kejayaan yang akan memperteguh kuasanya sebagai wakil Tuhan di muka bumi.

Berkeliaranlah pengecut-pengecut itu dengan rasa takut yang terus saja akut. Menebar ketakutan, menutup ketakutannya sendiri.

Post a Comment

0 Comments