Sebelumnya demokrasi dan kebebasan hanya menjadi cerita yang terkurung dalam kalimat-kalimat mati. Demokrasi dan kebebasan hanya ada dalam kurikulum dan buku pelajaran.
Sikap politik Soeharto yang “mengalah” pada gejolak massa telah membuka jalan bagi lahirnya Indonesia baru yang mengusung panji reformasi. “Keikhlasan” Soeharto menjadi alarm berakhirnya otoritarianisme penguasa yang telah terpacak selama tiga dekade dari Sabang sampai Marauke.
Saat ini sudah dua puluh tahun Soeharto lengser. Sudah dua puluh tahun pula kita menikmati demokrasi dan kebebasan. Sudah dua puluh tahun kita bebas berteriak dan bersuara lantang tanpa rasa takut.
Demokrasi dan kebebasan yang di masa Soeharto tak berdenyut telah pun berdetak kencang mengguncang dan berkobar-kobar.
Demokrasi dan kebebasan yang dulunya mati telah tumbuh berkembang menjalar-jalar mengawal reformasi kita yang semakin tua. Demokrasi kita telah mencapai puncak kejayaannya dalam dua dasawarsa. Demokrasi kita terus bergerak.
Demokrasi dan kebebasan yang dulunya kita impikan telah menembus titik klimaks. Sebentar lagi ia akan terjun bebas menuju demokrasi baru–demokrasi yang kurang ajar dan membabi-buta.
Saat ini kita menyaksikan sendiri bagaimana liarnya demokrasi dan kebebasan yang dulunya kita sanjung dan puja.
Dengan demokrasi kita saling memaki, saling menuding dan saling bermusuhan. Dengan kebebasan kita saling menghantam dan memaksakan kehendak.
Dengan demokrasi kita memprovokasi dan mengintimidasi. Dengan kebebasan kita saling melukai dan bersangar muka.
Kita semakin kurang ajar!
Dulu kita bermimpi demokrasi akan mempersatukan anak bangsa. Dulu kita berimajinasi bahwa kebebasan akan menghadirkan kebahagiaan.
Ternyata, demokrasi telah memisahkan kita dan kebebasan telah menjadi neraka.
Kurang ajar!
0 Comments