Peringatan Hardikda di Bireuen dan Wacana Kabupaten Literasi

Pagi tadi (3 September 2018), Kantor Bupati Bireuen tampak ramai. Di depan kantor juga terlihat sederetan papan bunga yang bertuliskan selamat memperingati Hari Pendidikan Daerah (Hardikda). Peringatan ini semestinya dilakukan kemarin karena bertepatan dengan tanggal 2 September. Mungkin karena tanggal 2 September bertepatan dengan hari Minggu, maka acara tersebut digeser hari ini.

Saya sendiri tidak turut serta dalam peringatan tersebut, sebab saya hanya berstatus sebagai seorang guru di sekolah rendah. Dengan demikian saya tidak tahu persis bagaimana perjalanan acara tersebut pagi tadi.

Dari perbincangan dengan beberapa orang dan juga pengamatan melalui media sosial tampaknya ada keinginan dari beberapa kalangan untuk menjadikan Bireuen sebagai kabupaten literasi di Aceh. Saya juga tidak tahu apakah gagasan ini juga diperbincangkan dalam peringatan Hardikda di Bireuen atau tidak.

Dalam peringatan Hardikda tadi, menurut informasi juga diberikan penghargaan kepada beberapa guru yang disebut-sebut aktif menulis. Kononnya mereka sudah melahirkan karya tulis dalam bentuk buku sehingga dianggap layak mendapat penghargaan dari bupati. Tentunya ini akan menjadi kabar baik bagi guru-guru di Kabupaten Bireuen sebab mereka telah ambil bagian dalam kampanye literasi. Ke depan kita juga berharap akan lahir guru-guru yang tidak hanya mampu mengajar tapi juga mahir dalam menulis.

Namun demikian, saya kurang memahami bagaimana kriteria kabupaten literasi sehingga Bireuen dianggap layak menyandang gelar tersebut. Sependek amatan saya tidak ada satu aspek literasi dalam bentuk konkret yang dapat ditemukan di Bireuen. Perpustakaan daerah yang dibuka di Bireuen beberapa tahun lalu tampaknya juga belum mampu menjadi tempat “wisata” bagi masyarakat Bireuen.

Sampai saat ini juga belum ditemukan ada orang Bireuen yang membaca buku di trotoar jalan, kedai kopi atau tempat-tempat terbuka lainnya. Pemandangan ini sama sekali tidak terlihat. Bahkan dalam dunia pendidikan di Bireuen, sejauh ini belum ditemukan data terkait jumlah guru yang benar-benar bersahabat dengan buku, kecuali buku pelajaran sekolah atau perangkat pembelajaran.

Jika hanya karena ada beberapa guru yang kemudian menulis buku dalam beberapa pelatihan menulis dijadikan indikator sebagai aspek literasi, maka penilaian ini tentunya sungguh naïf. Di Kabupaten lain juga ramai penulis, baik dari kalangan umum maupun guru.

Sebab itulah saya belum mengerti apakah wacana Bireuen sebagai kabupaten literasi adalah upaya serius atau sekadar medium untuk mencari popularitas bagi kalangan tertentu yang mungkin ingin disebut sebagai tokoh pendidikan atau minimal berjasa terhadap perkembangan literasi di kabupaten ini.

Post a Comment

0 Comments