Halaqah Intelektual dan Bedah Buku "Perempuan dan Hak Azasi Manusia"

Sabtu kemarin (08/09/2018), atas undangan dari Universitas Muhammadiyah Aceh, saya turut menghadiri acara “Halaqah Intelektual dan Bedah Buku” yang diselenggarakan oleh LP4M Universitas Muhammadiyah Aceh bekerjasama dengan The Asia Foundation, Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) dan Pusat Studi Pancasila IAIN Langsa yang bertempat di Aula Bappeda Aceh.

Secara resmi, acara ini dibuka oleh Rektor Universitas Muhammadiyah Aceh, Muharrir Asy’ari. Sebelum pembukaan juga disampaikan sambutan Ketua LP4M Universitas Muhammadiyah Aceh dan juga sambutan dari pihak sponsor.

Adapun buku yang dibedah dalam acara ini bertajuk “Perempuan dan Hak Azasi Manusia; Narasi Agama dalam Imajinasi Negara Bangsa di Aceh. Buku ini adalah hasil penelitan bersama yang melibatkan beberapa orang penulis: Anton Jamal, Noviandy, Masni Zaini, Sullati Armawi, Asy’ari dan Muhammad.

Tampil sebagai pembedah Prof. Dr. Syahrizal Abbas yang menjabat sebagai Kepala Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh dan Syamsidar Idar dari Komnas Perempuan. Narasumber lainnya adalah penulis sendiri, yaitu Noviandy dan Anton Jamal. Acara bedah buku dan diskusi ini diikuti oleh seratusan peserta yang berasal dari berbagai kalangan, seperti akademisi, mahasiswa, tokoh perempuan dan beberapa pegiat LSM.

Dalam kesempatan tersebut, Noviandy dan Anton Jamal menekankan pembahasannya pada berbagai problema yang muncul pasca formalisasi syariat Islam di Aceh. Menurut mereka, dalam penerapan syariat Islam di Aceh selama ini, ada kesan bahwa pihak perempuan telah menjadi korban. Berbeda dengan laki-laki, setelah mendapat “hukuman” dari negara (sesuai qanun), pihak perempuan akan berhadapan dengan “hukuman sosial” dari masyarakat yang kemudian memberi dampak negatif bagi mereka.

Syamsidar Idar yang mewakili Komnas Perempuan, dalam diskusi itu memaparkan tentang beberapa aksi diskriminatif dan “kekerasan” terhadap perempuan pasca dilakukannya formalisasi syariat Islam di Aceh. Menurutnya, perempuan adalah pihak yang sering menjadi “sasaran” dalam penegakan syariat Islam di Aceh.

Sementara itu, Syahrizal Abbas yang mewakili pemerintah Aceh menyatakan apresiasinya untuk buku Perempuan dan Hak Azasi Manusia. Dalam kesempatan itu, dia juga menegaskan bahwa inti dari formalisasi syariat Islam adalah diambil alihnya tanggungjawab penerapan syariat Islam di Aceh oleh negara, dalam hal ini Pemerintah Aceh melalui Dinas Syariat Islam. Syahrizal juga menjelaskan tentang qanun syariat Islam sebagai produk politik yang sama sekali tidak sakral sehingga harus terus disempurnakan.

Ketika acara sedang berlangsung, tiba-tiba tampak Profesor Yusny Saby memasuki ruangan acara. Menjelang akhir acara, moderator memberikan waktu kepada Yusny Saby untuk menyampaikan pandangannya. Pesan penting yang disampaikan dalam pidato singkat Yusny adalah terkait euforia syariat Islam yang sedang berlangsung di Aceh. Yusny Saby menyesalkan sikap sebagian oknum masyarakat yang tampak bergembira dengan hukuman cambuk dengan turut menonton beramai-ramai dan bahkan ada yang melakukan selfie. Seharusnya, kata Yusny, kegembiraan itu ditunjukkan ketika pelanggaran syariat sudah tidak ada lagi di Aceh, bukan justru bereuforia dengan banyaknya hukuman cambuk.

Setelah semua narasumber memamaparkan pikirannya, moderator kemudian memberikan kesempatan kepada para peserta untuk mengajukan pertanyaan dan dilanjutkan dengan diskusi. Acara bedah buku dan diskusi ini berakhir pada pukul 12.30 Wib setelah azan dhuhur berkumandang.

Post a Comment

0 Comments