Menulis Tidak Perlu Terburu-buru

Semangat yang tidak bisa dikelola dengan baik terkadang bisa berdampak pada lahirnya sikap terburu-buru. Sikap ini kemudian akan berdampak pada tidak maksimalnya pekerjaan yang kita lakoni.

Sikap terburu-buru mendorong kita untuk mengerjakan sesuatu secepat-cepatnya sehingga seringkali tanpa pertimbangan yang matang. Kita ingin cepat-cepat selesai, ingin cepat-cepat berlari dan ingin cepat-cepat terbang tinggi menembus awan sebelum habis tanah ini kita pijak.

Idealnya semua pekerjaan dilakukan sesuai tahapan tanpa melompati bagian-bagian penting yang harus kita lalui. Kita tidak bisa berharap sesuatu terjadi secara instan. Seandainya pola “instan” ini dipaksakan guna mengejar “kecepatan,” maka bukan tidak mungkin kita akan jatuh tersungkur sebelum garis finis berhasil kita gapai. Kita akan kelelahan jika berlari terlalu cepat sehingga potensi untuk jatuh terbuka lebar.

Kita ambil contoh mi instan, meskipun namanya “instan” tetap saja membutuhkan proses agar ia bisa kita nikmati selayaknya. Sebelum mi itu dimakan, kita harus memasak air sampai mendidih, kemudian mi instan tersebut kita rebus. Proses belum selesai, kita masih harus menunggu mi ini empuk. Setelah empuk pun tidak bisa langsung dimakan, kecuali jika ingin mengubah bibir kita sebesar ubi. Jika kita terburu-buru, maka kenikmatan mi instan tidak akan pernah kita dapat, sebab keterburu-buruan telah memaksa kita untuk mengunyah mentah mi instan seperti kerupuk tanpa dimasak.

Kita membutuhkan semangat sebagai pendorong lahirnya keseriusan dan ketekunan melalui usaha yang terus-menerus, bukan untuk membebani diri dalam “keterburu-buruan” yang justru akan mematikan semangat itu sendiri. Sikap terburu-buru, cepat atau lambat akan memadamkan semangat yang tadinya berkobar-kobar. Sama saja seperti meriam yang menembak di malam buta demi menumpas musuh yang entah di mana. Ketika musuh datang, dentuman meriam pun hilang, sebab peluru telah habis terbuang. Akhirnya bendera putih pun terpaksa diangkat.

Bagaimana dengan Menulis?

Sama halnya dengan pekerjaan lain, dalam menulis juga tidak perlu terburu-buru. Kita harus menjalaninya dengan “santai” dalam pengertian tanpa “terbebani” oleh harapan-harapan yang terlalu tinggi atau impian yang terlalu liar. Tulisan yang dikerjakan dalam kondisi terburu-buru hanya akan menjadi coretan tanpa makna yang bersifat tudingan, tuduhan, klaim, khayalan (kecuali karya fiksi), tendensius dan apologis.

[Tin)(http://khairilmiswar.com) [Miswary](http://steemit.com/@tinmiswary)
Keterburu-buruan akan menyebabkan penulis meninggalkan banyak tahapan yang semestinya dilalui, semisal bertanya, berguru, mendengar, melihat, memerhatikan, berpikir, menimbang dan seterusnya. Meninggalkan beberapa proses penting ini hanya karena semangat “kejar tayang” adalah tindakan yang sangat fatal sehingga berdampak pada sepinya pesan dan nihilnya nalar kritis dalam karya yang dihasilkan.

Sebagaimana pernah kita singgung dalam tulisan sebelumnya, bahwa menulis itu mudah selama kita memiliki tekad untuk mengerjakannya. Namun demikian, kemampuan menulis tidak akan muncul dengan sendirinya tanpa dibarengi dengan latihan-latihan yang tiada henti. Usaha terus-menerus inilah yang kemudian menjadi guru paling setia bagi para penulis.

Latihan menulis dan usaha yang terus-menerus ini tidak bermakna kita harus terjebak dalam “keterburu-buruan.” Semua tulisan harus dikerjakan dengan serius dan penuh pertimbangan yang diiringi dengan otokritik agar kita tahu letak kelemahan kita sebelum orang lain menemukannya. Jika tidak, maka tulisan itu hanya akan menjadi “parade aksara” yang mengipas bendera tanpa warna sehingga tak jelas ke mana ia bermuara. Sia-sia belaka.

Seorang penulis tidak perlu tergoda untuk menghasilkan seratus tulisan dalam satu bulan atau sepuluh buku dalam satu tahun guna menyandang predikat “penulis produktif.” Godaan ini hanya akan mempercepat “kepunahan” produktivitas di kemudian hari.

Kita menyaksikan sendiri beberapa oknum penulis yang menggebu-gebu di awal tapi menjadi layu kemudian. Kita juga melihat sendiri kobaran semangat beberapa oknum penulis yang meledak-ledak di “usia dini” kepenulisannya, tapi kemudian “terhempas” dan hilang “terpental” dari panggung kepenulisan di kemudian hari.

Sepakat atau pun tidak, semangat yang muncul tiba-tiba tanpa dilatari oleh kesadaran akan hilang tiba-tiba pula tanpa pernah disadari. Demikian juga dengan penulis yang terjebak dalam “keterburu-buruan” juga tidak akan bertahan lama. Ia akan terkubur dalam semangatnya yang menggebu-gebu.

Post a Comment

0 Comments