Haruskah Bersedih Ketika Tulisan Ditolak?

Bagi yang sering mengirimkan tulisan ke koran, tentu pernah merasakan “kesedihan” ketika tulisan tersebut ternyata “ditolak” alias tidak dimuat. Pada prinsipnya “kesedihan” ini sangat manusiawi dan tidak mungkin dihindari. Kesedihan adalah gejolak hati yang tidak bisa dibendung. Namun demikian kita tidak perlu larut dalam kesedihan, sebab akan melumpuhkan semangat, bahkan membunuhnya.

Ketika tulisan kita ditolak, tugas kita selanjutnya adalah membaca kembali tulisan tersebut guna menemukan “kekurangan” atau mungkin “kelemahan” atau “kelengahan.” Mungkin saja tulisan kita tidak aktual, kekurangan argumen, topik kurang menarik, analisis kurang mendalam atau alasan-alasan lainnya. Dari “kekurangan-kekurangan” inilah kemudian kita belajar menyempurnakan tulisan untuk ke depan agar pihak redaksi tidak memiliki alasan untuk menolak tulisan kita. Seandainya tulisan yang ditolak itu kita anggap sudah “mantap” tanpa “kekurangan,” itu artinya kita salah memilih koran sehingga tulisan kita tidak sesuai dengan visi dan misi mereka. Dalam hal ini, kita harus “cerdas” memilih koran yang sesuai dengan topik dan gagasan yang kita tulis.

Seperti sudah pernah kita singgung, bahwa tugas penulis adalah menulis dan terus menulis. Sementara untuk urusan terbit atau ditolak adalah tugas penuh dari redaksi yang tidak bisa kita campuri. Pihak redaksi memiliki otoritas penuh untuk menyeleksi tulisan-tulisan yang mereka terima apakah layak terbit atau tidak.

Sebagai penulis, kita harus tetap berusaha menulis sebaik mungkin. Tulisan-tulisan yang ditolak harus mampu menjadi pemompa semangat untuk terus menulis. Semakin ditolak harus semakin semangat. Jika kita menyerah hanya karena tulisan ditolak, maka kita akan layu sebelum waktunya. Layu dan tidak akan mekar lagi untuk selamanya. Tentunya kondisi ini sangat menyakitkan.

Lagi pula tulisan-tulisan yang ditolak tersebut masih bisa kita kumpulkan untuk dijadikan buku pada suatu saat. Semakin banyak yang ditolak, maka semakin bertambah pula stok tulisan yang bisa kita bukukan. Dengan demikian, tulisan yang ditolak tidak lagi menjadi alasan untuk bersedih, tapi justru menjadi kegembiraan sebab naskah buku kita akan semakin menumpuk.

Post a Comment

0 Comments