Keikhlasan Panyot Culot

Istilah panyot culot tidak akan pernah ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebab ia bukan berasal dari bahasa itu. Sejauh ini, istilah panyot culot hanya dikenal di Aceh. Dalam bahasa nasional jenis lampu ini mungkin dapat disejajarkan dengan lampu teplok.

Dalam “tradisi” perbincangan di Aceh, istilah panyot culot sering disematkan kepada orang yang suka mencari-cari kesalahan orang lain tapi melupakan kesalahannya sendiri. Penggunaan analogi ini disebabkan oleh kondisi panyot culot yang selalu menerangi orang lain, tetapi dirinya sendiri terbakar dan kehitaman.

Karena “diduga” memiliki kesamaan dengan kondisi orang-orang yang suka mencari kesalahan orang lain, maka pencari kesalahan orang lain tersebut sering dinamai sebagai panyot culot. Di Aceh penyebutan ini terbilang cukup lazim; bek lagee panyot culot (jangan seperti lampu teplok), demikian istilah itu sering terucap.

Sejauh ini, saya pribadi belum mengetahui sejak kapan istilah panyot culot ini digunakan di Aceh dan siapa pula pelopornya. Untuk mengetahui sejarah penyebutan panyot culot ini tampaknya dibutuhkan riset khusus. Tapi yang jelas, istilah ini mulai digunakan pada saat orang Aceh sudah mengenal panyot culot.

Meskipun istilah tersebut sudah digunakan cukup lama dan diwarisi dari generasi ke generasi, saya justru tidak sepakat dengan istilah tersebut. Saya menilai penyebutan panyot culot kepada orang yang suka mencari kesalahan orang lain terlalu dipaksakan dan bertentangan dengan kenyataan yang dialami panyot culot itu sendiri.

Panyot culot menerangi orang lain sampai dirinya sendiri menjadi hitam karena terbakar. Kenyataan ini tentunya berlawanan dengan kondisi orang yang suka mencari kesalahan orang lain, tapi melupakan kesalahan dirinya. Ini adalah analogi yang tidak masuk akal.

Aksi “menerangi” yang dilakukan oleh panyot culot adalah “pengorbanan” yang penuh keikhlasan sehingga dia tidak peduli kepada kondisi tubuhnya yang terbakar. Berbeda dengan pencari kesalahan orang lain yang notabene adalah kejahatan. Bagaimana mungkin keikhlasan disepadankan dengan kejahatan? Ini sadis.

Akibat perumpamaan yang keliru ini, panyot culot selalu menjadi korban dalam perjalanan sejarah. Namanya selalu disebut-sebut dan disepadankan dengan kejahatan. Pengorbanan dan keikhlasan panyot culot yang telah berjasa menerangi kegelapan dari masa ke masa bukannya dihargai, tapi justru dijadikan sebagai simbol cacian. Ini tidak adil.

Sudah cukup kita melukai hati panyot culot entah berapa puluh atau berapa ratus tahun. Sudah saatnya kita menghargai dan merehabilitasi nama baik panyot culot agar tidak selamanya ia menjadi korban sejarah.

Post a Comment

0 Comments