Politik dan Keterlanjuran

Seperti diketahui bahwa politik praktis itu sulit ditebak. Politik praktis penuh dengan teka-teki, trik dan “intrik.” Tidak seperti teka-teki silang yang memilik rumus tertentu, politik praktis justru tanpa rumus. Ia selalu berubah tanpa harus mengikut logika tertentu. Dalam perencanaannya, politik praktis boleh saja mengampanyekan prinsip tertentu, tetapi dalam pelaksanaanya ia akan mengalir begitu saja tanpa harus merujuk pada prinsip-prinsip yang telah dipacak di awal.

Politik praktis juga penuh dengan keterlanjuran. Sebagian keterlanjuran ini akan terus dipelihara dan dipertahankan, sementara sebagian keterlanjuran lainnya akan diralat begitu saja. Keputusan untuk mempertahankan atau pun meralat keterlanjuran ini sangat tergantung pada dampak yang akan muncul kemudian. Jika keterlanjuran tersebut berdampak positif bagi kepentingan politik praktis, maka ia akan dipertahankan dengan segala argumen apologis. Sebaliknya, jika keterlanjuran ini akan membawa dampak negatif, maka ia akan diralat dengan segala macam cara. Politik praktis itu elastis, seperti karet yang bisa ditarik ke sana ke mari. Bebas!

Sekadar contoh, kubu politik yang sudah terlanjur memainkan isu agama di awal perjalanan politiknya akan berada di “simpang jalan” ketika rival politiknya memainkan isu yang sama. Dalam kondisi ini mereka akan melakukan “ijtihad” ulang, apakah akan melanjutkan isu tersebut sebagai komoditas politik atau memilih meralat dan beralih ke isu lain. Seperti disinggung di awal, keputusan ini sangat bergantung pada asumsi-asumsi terkait dampak ke depan.

Alamy

Jika mereka menganggap isu agama masih efektif dan menguntungkan, maka mereka akan merawat keterlanjuran ini. Sebagai contoh, kubu politik yang terlanjur mengampanyekan kepada publik bahwa mereka akan memilih ulama sebagai calon wakil presiden, tapi dalam kenyataannya “batal” memilih ulama dengan pertimbangan tertentu – maka calon wakil presiden yang dalam kenyataannya bukan ulama akan “dipaksa-ulamakan” dengan berbagai cara tanpa peduli publik percaya atau pun tidak.

Untuk mempertahankan keterlanjuran tersebut bisa dilakukan secara bertahap dan bisa pula sekalian. Pola bertahap adalah dengan cara meyakinkan publik bahwa calon wakil presiden yang mereka usung adalah seorang santri. Agar publik yakin dengan “klaim” ini, mereka akan mencari argumen yang tepat melalui metode “cocoklogi.” Setelah publik dianggap yakin, status santri tadi akan segera dinaikkan menjadi ulama melalui strategi “pengukuhan.”

Jika nantinya strategi mempertahankan keterlanjuran ini ternyata tidak efektif, maka bukan tidak mungkin mereka akan kembali beralih kepada strategi lain dengan cara meralat keterlanjuran itu. Cara termudah meralat keterlanjuran ini adalah dengan mengampanyekan ulang bahwa ulama tidak pantas masuk ke ruang politik. Untuk menguatkan pendapat ini akan diajukan argumen berlainan yang berbenturan dengan argumen pertama. Dalam politik praktis, perubahan yang tiba-tiba ini adalah hal lumrah saja.

Post a Comment

0 Comments