Kita Juga Santri

Hari ini beranda media sosial penuh dengan beragam komentar, tulisan dan ucapan “Selamat Hari Santri Nasional.” Kononnya hari santri diperingati setiap 22 Oktober. Karena hari ini 22 Oktober, maka bertaburanlah ucapan-ucapan itu di media sosial.

Ucapan selamat hari santri ini tidak hanya dilakukan oleh para santri atau mantan santri, tapi juga hampir semua profesi mengucapkan kata-kata serupa. Tidak ketinggalan para caleg kita juga turut membuat ucapan khusus dengan berbagai model desain poster guna memeriahkan hari santri di media sosial.

Di era media sosial seperti sekarang ini, setiap kita bebas berekspresi sesuka hati, selama tidak melanggar aturan yang ada. Dengan demikian tidak perlu heran, jika muncul “santri dadakan” dengan pakaian khas plus peci guna menyemarakkan hari santri nasional.

Sebagai bekas santri, saya pun melakukan hal yang sama. Saya juga mengucapkan hari santri di akun facebook sembari memposting foto tempo doeloe. Hal ini penting saya lakukan sebab beberapa waktu lalu ketika heboh isu Wahhabi di Aceh, saya pun sempat mendapat label “penulis Wahhabi” karena beberapa tulisan saya dianggap membela Wahhabi yang saat itu ingin mereka usir dari Aceh. Dengan postingan foto semasa menjadi santri di facebook, saya sudah melakukan klarifikasi bahwa saya pun santri.

Saya sempat menjadi santri sejak tahun 1987 sampai 1998 di Dayah Darussa’dah yang membuka cabang di kampung saya. Saat itu dayah tempat saya mengaji dipimpin oleh alm. Drs. Tgk. H. Jamaluddin Abdullah yang kemudian sempat menjabat sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Bireuen. Beliau adalah salah seorang murid senior dari alm. Tgk. Muhammad Ali Irsyad, pimpinan pusat Dayah Darussa’dah di Teupin Raya yang juga dikenal dengan nama Abu Teupin Raya.

Saat itu saya menjadi santri setengah hari, karena saya juga sekolah. Dari pagi sampai siang saya belajar di sekolah dan sepulang sekolah saya mengaji di dayah sampai sampai sore. Demikian seterusnya sampai saya masuk ke Madrasah Aliyah (MAN) di Kota Matangglumpangdua. Saat itu saya mengaji sudah mulai bolong-bolong karena sepulang sekolah juga belajar silat, karate dan aktif di Pramuka. Namun demikian, saya tetap menyisakan waktu untuk dapat mengaji di dayah.

Saya baru berhenti belajar di dayah pada saat saya berangkat ke Banda Aceh untuk kuliah di IAIN Ar-Raniry pada jurusan bahasa Arab yang kemudian ternyata tidak selesai. Bagbudig.

Post a Comment

0 Comments