A. D. Donggo, Di Persimpangan Jalan

Novel setebal 190 halaman ini ditulis oleh A.D. Donggo, seorang penulis yang pernah menjabat sebagai redaktur Majalah  Minbar Indonesia era 1950-an dan juga pernah menjadi redaktur di koran Suluh Indonesia pada era 1960-an. A. D. Donggo yang lahir di NTB pada 21 Desember 1931 juga pernah menjadi redaktur di beberapa media cetak lainnya yang terbit di Jakarta.

Novel dengan tajuk “Di Persimpangan Jalan” ini diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada 1982 dan mengalami beberapa kali cetak ulang sampai tahun 2004. Dalam novel ini, Donggo mengangkat kisah percintaan dua muda remaja yang pada awalnya berjalan mulus tapi berakhir “tragis” setelah kedua orang tua mereka bertemu satu sama lain.

Dalam novel ini, Donggo mencoba mempertentangkan dua kondisi berbeda dari kedua orang tua kekasih yang sedang bercinta. Perbedaan latar belakang kedua orang tua ini akhirnya menjadi alasan yang mencoba memutuskan hubungan mereka. Dalam novel ini, Donggo juga menghadirkan sosok bernama Mahila yang misterius. Dia muncul tiba-tiba dan hilang tiba tanpa diketahui siapa dia sebenarnya.

Komodor Laut Amran Sudewo adalah salah seorang pensiunan Perwira Angkatan Laut yang juga salah seorang mantan pejuang kemerdekaan pada masa revolusi fisik saat berlangsungnya Agresi Militer Belanda. Setelah pensiun dia membangun sebuah perusahaan onderdil kapal, sesuai dengan pengalamannya sebagai seorang mantan perwira laut.

[Lazada Program] Komputer Laptop Meja Gaya Modern Meja Rak Buku Kayu Berdiri Rumah Kamar Tidur K Gaya Desain-100x60x73cm
Rp. 1.864.537

Dalam menjalankan perusahaannya, Amran Sudewo berkenalan dengan seorang anak muda yang pada awalnya menjadi agen (perantara) antara dirinya dengan pedagang lain dalam usaha onderdil kapal. Karena dianggap cerdas dan berbakat, akhirnya pemuda bernama Salman itu diangkat sebagai pegawai tetap di perusahaannya yang kemudian menjadi tangan kanannya yang paling dipercaya.

Karena sering berkunjung ke rumah Amran Sudewo dan juga ke sebuah villa keluarga Amran yang terletak di sebuah teluk, akhirnya Salman pun menjadi akrab dengan keluarga tersebut. Oleh Amran dan istrinya, sosok Salman telah dianggap seperti anak sendiri karena ia tidak memiliki anak laki-laki. Dalam keakraban itu secara diam-diam Salman menjalin hubungan percintaan dengan anak Amran Sudewo yang bernama Fijri.

Ketika hubungan Salman dan Fijri semakin rapat dan tidak mungkin dipisahkan lagi, tiba-tiba saja muncul kekhawatiran di benak Salman bahwa hubungan mereka tidak akan direstui oleh Komodor Amran. Keraguan ini dilatari oleh latar belakang kehidupan ayah Salman yang bertolak belakang dengan Komodor Amran. Ayah Salman yang dikenal dengan nama Sersan Mayor Bani adalah salah seorang tentara NICA yang menjadi musuh dari para pejuang Republik. Ayah dari Salman ini adalah seorang serdadu kolonial, penembak ulung dan algojo yang paling ditakuti oleh pejuang-pejuang Indonesia di masa agresi.

Setelah mengetahui latar belakang ayah Salman ini, akhirnya Komodor Laut Amran Sudewo tidak merestui Fijri untuk menikahi Salman dengan alasan demi harga dirinya sebagai seorang pejuang dan juga demi menghormati jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur. Di mata Amran Sudewo, ayah Salman adalah pengkhianat bangsa yang tidak mungkin dimaafkan sehingga ia pun terpaksa mengorbankan percintaan dua anak manusia yang sama sekali tidak memiliki sangkut paut dengan masa lalu orang tua mereka tiga puluh dua tahun lalu.

Donggo juga melengkapi novel ini dengan kehadiran Letnan Sutandi, anak dari Kolonel Partowiyono yang merupakan teman seperjuangan Komodor Amran di masa revolusi. Sutandi juga berperan merusak hubungan antara Salman dan Fijri, karena Fijri menolak cinta Sutandi.

Post a Comment

0 Comments