Caleg dan Utang

Bagi caleg, setiap tahapan pemilu (pileg) yang sudah ditentukan oleh panitia penyelenggara adalah jalan perjuangan yang harus dilalui dengan sabar. Langkah perjuangan seorang caleg telah dimulai sejak ia menceburkan dirinya dalam arena politik praktis. Mendaftarkan diri sebagai kader partai politik adalah langkah paling awal yang ditempuh setiap caleg untuk dapat terlibat dalam kontestasi lima tahunan memperebutkan kursi parlemen.

Untuk dapat mengajukan diri sebagai seorang caleg juga dibutuhkan modal, sekurang-kurangnya untuk membuat pas foto atau minimal membeli peci agar terlihat berwibawa. Modal ini bisa saja berasal dari uang pribadinya, bantuan teman-teman atau mungkin disponsori oleh sosok tertentu. Terlepas dari mana modal berasal, yang jelas kebutuhan akan modal tidak bisa dinafikan.

Pasca ditetapkan sebagai caleg, modal demi modal masih terus dibutuhkan untuk dapat melalui setiap tahapan yang sudah ditentukan. Tahapan kampanye adalah paling menentukan bagi kesuksesan seorang caleg. Untuk dapat melakukan kampanye secara efektif seorang caleg membutuhkan modal yang kuat.

Dalam kondisi inilah sebagian oknum caleg yang baru terjun dalam pentas politik terjebak dalam transaksi utang untuk biaya politik. Ramai di antara mereka yang teperdaya oleh harapan kemenangan sehingga kuitansi utang pun menumpuk tanpa disadari.

Oknum caleg serupa ini selalu menanamkan keyakinan dalam hatinya bahwa utang-utang itu nantinya akan diselesaikan pasca dirinya berhasil menuju kursi parlemen. Dia terus menghibur dirinya dengan khayalan-khayalan yang dibuatnya sendiri.

Pasca pemilu, jika si oknum caleg ini terpilih, maka beban utama yang menghantam pikirannya adalah utang yang harus segera dibayar. Idealnya caleg yang terpilih diliputi oleh kegembiraan yang mengasyikkan. Kondisi ini berbeda dengan caleg yang telah menumpuk utang. Mereka tidak merasakan kegembiraan dan justru larut dalam ketermenungan tentang kapan utang-utangnya akan lunas.

Jika mata kirinya menatap kursi parlemen yang sebentar lagi akan didudukinya, maka mata kanannya justru diganggu oleh tumpukan kuitansi utang dengan jumlah yang melebihi gajinya selama lima tahun. Hari-harinya di parlemen nantinya akan tersita untuk penyelesaian utang yang terus mendesak.

Bagi caleg serupa ini, kemenangan yang diperolehnya justru tidak memberikan makna apa pun, kecuali peningkatan status sosial karena kini dia dipanggil “Pak Dewan.” Bagaimana pula jika seandainya dia tidak terpilih?

Post a Comment

0 Comments