Dalam konteks pertalian darah, cucu adalah anak dari anak. Kita sendiri adalah cucu dari kakek nenek yang hidup sebelum kita. Jika Tuhan menghendaki, mungkin kita juga akan memiliki cucu di kemudian hari. Jika hari ini kita menjadi cucu bagi kakek nenek kita, bukan tidak mungkin suatu hari kita akan menjadi kakek bagi cucu-cucu kita.
Bagi kakek nenek, kehadiran cucu sering kali disambut dengan gembira. Selain anak (ayah ibu kita), cucu juga kerap dijadikan harapan bagi persambungan perjuangan kakek nenek di masa lalu.
Demikian pula dengan seorang cucu, dia juga cenderung berbangga dengan kemegahan kakek neneknya di masa lampau. Tidak sedikit dari kita yang mengaku sebagai cucu si fulan guna mewarisi kemegahan mereka.
Namun begitu, dalam kondisi kakek nenek kita yang menoreh sejarah hitam di masa lampau, sebaliknya sebagian kita akan mencoba memutus rantai hubungan dengan mereka. Sebagian kita mungkin merasa malu untuk disebut sebagai cucu si fulin sebab “dosa-dosa” kakek nenek kita.
Di sebalik itu, kita juga sering mendengar ucapan orang-orang tertentu bahwa perjuangan yang dilakukannya hari ini adalah demi anak cucu di kemudian hari. Ucapan itu menandakan bahwa mereka sangat peduli pada cucu-cucunya di masa depan. Namun kata cucu di sini tentunya tidak terbatas pada cucu dalam pertalian darah, tapi cucu sebagai generasi penerus.
Idealnya kita memang harus mampu mewariskan kebaikan-kebaikan kepada cucu-cucu kita di masa depan, bukan justru meninggalkan kesan-kesan buruk yang membuat cucu-cucu kita menanggung malu di kemudian hari.
0 Comments