Politik dan Kemunafikan

Kita tentu sering mendengar sebuah ungkapan populer bahwa dalam politik tidak ada teman sejati, yang ada cuma kepentingan yang abadi. Dalam konteks kekinian ungkapan ini masih terus dipakai dalam pentas politik kita.

Seperti kita lihat, dalam sebuah kontestasi, koalisi atau persekutuan partai politik hanya bersifat temporal. Ketika kontestasi dengan pihak lain dianggap selesai, maka koalisi itu pun usai. Ia tidak pernah abadi. Dengan kata lain tidak ada koalisi permanen dalam politik.

Yang abadi hanyalah kepentingan-kepentingan pragmatis dari partai politik itu sendiri. Jika kepentingan pragmatis antara satu partai politik dengan partai politik lain memiliki kesamaan, maka terbentuklah koalisi demi mencapai kepentingan-kepentingan itu secara bersama-sama. Dan ketika dalam perjalanannya muncul perbedaan orientasi antar partai politik dalam koalisi, maka koalisi pun bubar.

Apa yang dilakukan oleh Partai Demokrat pasca Pilpres 2019 setidaknya dapat menggambarkan kebenaran ungkapan di atas, bahwa kepentingan pragmatis lebih utama dari persekutuan politik. Seperti kita saksikan, meskipun pemenang pemilu belum ditetapkan oleh KPU, namun partai ini telah melakukan berbagai manuver demi kepentingan politiknya di masa depan.

Tindakan AHY, putra SBY—pendiri Partai Demokrat—yang melakukan pertemuan dengan Jokowi pasca pilpres, terlepas dari embel-embel demi kepentingan kebangsaan—terbaca sebagai salah satu bentuk manuver Partai Demokrat yang kononnya akan mengusung AHY sebagai capres pada 2024.

Demikian pula pertemuan dua putra SBY dengan tokoh utama PDI Perjuangan yang merupakan rival politik Prabowo dalam Pilpres 2019 pun dapat ditafsirkan sebagai manifestasi kepentingan pragmatis Partai Demokrat walaupun tindakan itu telah melukai koalisi mereka dengan partai pendukung Prabowo.

Jika ditarik ke belakang, sikap “aneh” dari Demokrat juga sudah terlihat pada saat berlangsungnya Kampanye Akbar Prabowo-Sandi di GBK. Saat itu, SBY melancarkan kritik terhadap kubu Prabowo-Sandi dengan menyebut kampanye tersebut sebagai “tak lazim.”

Secara politik, apa yang dilakukan Demokrat memang tidak aneh dan bahkan tindakan tersebut justru mencerminkan kecerdasan Demokrat dalam melihat peluang dan mengatur strategi demi kepentingan pragmatisnya di masa depan. Demokrasi memang demikian.

Post a Comment

0 Comments