Barbarisme Medsos

Pagi tadi setelah membaca sebuah postingan yang ditulis seorang netizen bernama Jonru, saya pun mengomentari postingan itu dengan kalimat pendek. Salah satu poin yang dibahas dalam postingan itu adalah tentang perbedaan perlakuan aparat terhadap bendera OPM dan bendera Tauhid.

Sebagai sebuah pendapat, tentunya apa yang disampaikan Jonru patut dihargai, apalagi tulisan itu terdiri dari beberapa paragraf. Secara pribadi saya sepakat dengan hampir seluruh paragraf dan hanya kurang sepakat pada satu paragraf.

Saya tidak sepakat ketika Jonru membandingkan antara bendera OPM dan bendera Tauhid. Menurut saya perbandingan itu kurang elok didiskusikan dalam kondisi Papua yang masih panas. Bukan tidak boleh, tapi waktunya tidak tepat.

Saya juga menangkap kesan bahwa Jonru ingin pemerintah bertindak tegas terhadap OPM (atau mungkin saya keliru). Sebagai republiken saya sepakat dengan itu selama dilakukan dengan cara-cara yang beradab. Namun dalam kondisi politik yang panas “tindakan tegas” itu tidak saja berdampak pada OPM, tapi bisa merembes pada masyarakat Papua secara umum. Ini yang tampaknya tidak dipahami oleh Jonru, karena ia tidak pernah hidup di wilayah konflik.

Sebagai salah seorang anak manusia yang menghabiskan masa remaja di masa konflik Aceh, saya pastikan bahwa saya “lebih tahu” apa yang akan menimpa masyarakat di daerah yang menyandang status Daerah Operasi Militer (DOM) atau Darurat Militer (DM) dibandingkan Jonru. Mungkin saya sombong. Biarlah.

Ketika DOM dan DM berlangsung di Aceh yang menjadi sasaran tindakan tegas bukan saja GAM sebagai pemberontak, tapi juga masyarakat sipil yang tidak tahu apa-apa juga terkena dampak dan tapak sepatu. Peluru-peluru yang terbang juga tidak pernah memilah dan memilih yang mana pemberontak dan yang mana penduduk. Entah Jonru tahu soal ini.

Jonru mungkin belum tahu berapa orang kampung tertembak, dipukuli dan rumahnya terbakar ketika DOM dan DM berlangsung di Aceh. Jonru belum tahu bahwa tidak semua korban itu terlibat gerakan makar. Mereka adalah rakyat yang tidak tahu apa-apa soal politik dan perang. Dan saya yakin Jonru belum pernah kena sepak atau pun dipukul popor senjata.

Di wilayah konflik, bahkan masyarakat sipil terkadang kebingungan. Oleh pasukan pemerintah dicurigai sebagai pembantu separatis, dan oleh pemberontak dicurigai sebagai mata-mata. Akhirnya dari sini kena sepak dan dari sana kena tendang.

Karena pengalaman-pengalaman inilah saya kemudian mengomentari status facebook Jonru yang dalam salah satu paragrafnya membahas tentang OPM yang berada di Papua. Bukan membela OPM, tapi rakyat Papua.

Uniknya komentar saya yang pendek itu dibalas oleh ratusan komentar para pendukung Jonru dengan mengeluarkan hampir semua penghuni kebun binatang. Bahkan ada yang menuduh saya sebagai OPM. Lucu!

Membaca komentar-komentar lucu itu saya hanya bisa tertawa dan bahkan terbahak. Mungkin inilah yang disebut dengan “Barbarisme Medsos.”

Post a Comment

0 Comments