Menipu Kak Ni

Masa kecil adalah masa paling membahagiakan sekaligus masa paling konyol. Ada banyak sekali kekonyolan yang kita lakukan dengan perasaan bahagia, tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.

Dulu, ketika masih kelas enam MIN sekira tahun 1993, sebagai anak kecil, saya dan teman-teman juga pernah melakukan banyak kekonyolan. Ide-ide konyol itu muncul tiba-tiba tanpa pernah terpikirkan sebelumnya.

Waktu itu, saya bersama seorang sepupu dari pihak ibu — namanya Muji, mendatangi kios kecil milik Kak Ni. Kios itu terletak di perbatasan kampung kami, tepatnya di samping rumah kakek saya dari pihak ayah. Tujuan kami ke sana untuk membeli lotre yang dalam bahasa kami dikenal dengan sebutan preih.

Lotre itu berupa cairan kental seperti lem yang bisa ditiup menjadi balon bening yang kemudian kami lambung di udara. Di bungkusan lotre yang terbuat dari kertas itulah tertulis nomor undian yang dapat ditukar dengan hadiah yang tergantung di papan karton tempat lotre itu ditempel.

Sialnya uang kami hampir habis tidak ada satu pun hadiah yang kami dapat. Besoknya kami membeli lagi dan hasilnya sama. Kami terus saja gagal mendapat hadiah.

Suatu hari ide konyol itu muncul. Ayah dari sepupu saya, waktu itu menjabat sebagai sekdes di kampung. Di rumahnya ada mesin tik. Saya katakan pada Muji agar kertas balutan lotre itu kita bawa pulang. Sampai di rumah kita ketik angka di kertas itu pakai mesin. Muji setuju, dan kami pun pulang ke rumahnya.

Sebenarnya di rumah saya juga ada mesin tik milik ayah. Tapi tersimpan di lemari. Sialnya lemari dikunci.

Waktu kami sedang mengetik angka di kertas undian, Razikin, adik Muji, sempat melihat, tapi kami abaikan saja dan kami tidak peduli. Kami yakin Razikin tidak tahu maksud kami. Saya tidak ingat lagi angka berapa yang kami ketik, tapi yang jelas angka itu sudah kami cocokkan dengan angka hadiah mobil mainan.

Setelah itu, kami pun kembali ke kios Kak Ni. Saya membeli satu lotre dan kemudian mengeluarkan kertas undian bertulis angka. Saya serahkan kertas itu kepada Kak Ni. Beliau sempat heran, tapi kemudian menyerahkan mobil mainan itu pada kami. Lalu kami pun pulang dengan perasaan gembira.

Padahal mobil itu sebenarnya adalah hadiah tipuan untuk memikat anak-anak. Nomor yang dicantumkan di mainan itu juga asal-asalan, makanya Kak Ni sempat heran kenapa kami punya nomor undian itu.

Sampai di rumah kami pun bermain dengan mobil itu. Tanpa sepengetahuan kami, Razikin pergi ke kios Kak Ni. Dia membocorkan rahasia bahwa undian itu kami ketik di rumah. Sambil merepet Kak Ni pun mendatangi rumah saya dan meminta kembali mobil itu.

Tidak ada pilihan lain, saya pun mengembalikan mobil itu. Waktu itu ayah saya marah besar, padahal saya punya banyak mobil mainan di rumah. Sejak saat itu saya dilarang membeli lotre. Dan, sampai saya dewasa Kak Ni selalu tersenyum melihat saya dan Muji. Mungkin dia masih ingat kejadian itu.

Demikianlah sebagian kekonyolan di masa kecil. Kak Ni sudah meninggal setahun lalu. Allahmummagfirlaha.

Post a Comment

0 Comments