Satu Cerpen Sepuluh Esai

Setiap orang memiliki kemampuan berbeda-beda. Ada yang kuat dalam menghafal teks tapi lemah dan memainkan logika. Ada yang kuat di Matematika tapi kurang di ilmu sosial. Demikian seterusnya.

Penulis juga begitu. Seorang penulis novel belum tentu mampu menulis buku teks dalam bidang sosiologi atau pun antropologi. Demikian juga penulis buku-buku hukum yang tebalnya ratusan halaman bisa saja kewalahan untuk menyelesaikan satu makalah bertema teologi. Singkatnya, tidak ada penulis super yang sempurna. Jika pun ada dapat dihitung dengan jari.

Tanpa bermaksud menyandingkan diri dengan penulis-penulis besar, sebagai penulis kecil — dan bahkan sangat kecil seperti debu yang beterbangan, saya bisa menyelesaikan esai sekitar 800 atau 1000 kata kurang dari dua jam. Bahkan untuk tema-tema ringan dan tulisan satire saya hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam.

Terlepas apakah tulisan itu berkualitas atau tidak — sebab saya berkeyakinan kualitas itu subjektif dan relatif, yang jelas saya sudah terbiasa menyelesaikan tulisan esai dengan cepat. Genre esai semisal opini memang kejar-mengejar dengan waktu, karena harus aktual, maka sudah semestinya tulisan itu ditulis cepat.

Meskipun saya bisa menulis esai dengan cepat, namun saya justru lambat dalam menulis cerpen. Dalam satu hari saya bisa menulis 3-4 esai, tapi dalam seminggu belum tentu saya bisa menyelesaikan satu cerpen. Itulah sebabnya jumlah esai saya banyak, tapi cerpen sangat sedikit.

Untuk menulis esai kita bisa mengandalkan pikiran, ingatan dan bacaan, tapi cerpen menuntut lebih — imajinasi dan perasaan. Karena itulah terkadang tulisan cerpen saya macet di tengah jalan. Tidak mudah menghadirkan rasa dan imajinasi, terlebih dalam kondisi yang tersibukkan dengan rutinitas.

Padahal bacaan saya dalam dunia fiksi seperti cerpen dan novel lumayan seimbang dengan bacaan sosiologi, teologi dan politik. Tapi kesulitan itu masih saja menghalangi.

Namun begitu latihan-latihan harus terus dilakukan.

Post a Comment

0 Comments