Demonstrasi dan Komentator Badut

Tugas badut adalah melawak. Tujuan melawak untuk menghibur. Karena itu segala cara dilakukan oleh badut agar orang-orang bisa terhibur dan kemudian tertawa. Dengan demikian terpujilah para badut sebab kerja keras mereka telah menghadirkan kebahagiaan bagi orang lain.

Di luar badut-badut hakiki alias badut sejati yang tulus ikhlas menyajikan hiburan, ada pula badut-badut tengik yang merusak suasana. Jika badut hakiki menghadirkan kegembiraan, maka badut tengik justru menyajikan ketololan.

Mentalitas badut tengik ini dapat hinggap di mana saja. Ia bisa bersemayam di benak siapa pun; mulai dari oknum yang tak pernah sekolah sampai oknum intelektual bergelar panjang; mulai dari oknum tak kenal Tuhan sampai oknum yang sangat “relijiyes.” Dan seterusnya.

Badut tengik adalah mereka yang suka bicara tapi enggan berpikir. Badut tengik adalah mereka bermulut besar tapi sulit mendengar. Badut tengik adalah mereka yang berlidah panjang tapi susah melihat. Dan seterusnya.

Mereka adalah orang yang suka menjilat selagi manis dan meludah ketika pahit. Mereka adalah sosok yang penuh curiga, waswas dan bijak bukan pada tempatnya.

Baru-baru ini kehadiran badut-badut tengik ini sangat terasa. Lihat saja komentar-komentar mereka yang bergentayangan di medsos beberapa hari ini terkait demonstrasi mahasiswa yang menolak beberapa RUU. Aroma tengik jelas terhirup dari komentar-komentar mereka yang seolah bijak itu.

“Awas ditunggangi.” Bagaimana kalimat ini bisa muncul? Tentu tidak ada yang tiba-tiba dalam kehidupan ini. Kentut saja tidak keluar tiba-tiba, tapi ada proses panjang di belakangnya. Apalagi sebuah kalimat yang terdengar bijak itu, tentu didahului oleh rangkaian sebab dan alasan.

Orang yang selalu mencurigai orang lain biasanya sering membayangkan kelakuan dirinya sendiri. Bisa jadi kecurigaan itu muncul akibat pengalaman dirinya. Misalnya seseorang yang curiga pada sosok bendahara tanpa alasan yang jelas atau tanpa adanya bukti-bukti pelanggaran keuangan yang dilakukan, boleh jadi kecurigaan itu muncul karena ia sendiri sering mencuri. Ketika dia menuduh semua bendahara sebagai pencuri, itu artinya ia sedang membuka celananya sendiri; bahwa kalau seandainya dia menjadi bendahara, maka dia pasti mencuri.

Demikian pula dengan oknum-oknum badut tengik yang menuduh demonstrasi mahasiswa ditunggangi, bisa jadi ia pernah berpengalaman menunggangi demonstrasi; atau setidak-tidaknya dirinya pernah ditunggangi saat melakukan demonstrasi. Akibatnya dia selalu mencurigai aksi demonstrasi dengan komentar-komentar miring. Pada saat itulah dia menampilkan dirinya sebagai badut tengik yang bukannya menghibur tapi justru membuat kekacauan dengan logika-logikanya yang dangkal.

Ironisnya lagi, badut-badut tengik ini sangat pragmatis. Ia selalu memosisikan diri pada titik aman. Sama seperti anak kecil yang menakuti temannya ketika memetik jambu di pohon yang tinggi. “Jangan naik, di atas itu banyak semut. Nanti kamu digigit. Nanti kamu jatuh patah kaki.”

Tujuannya menakuti agar temannya itu turun dan badut tengik bisa naik untuk menikmati jambu seorang diri. Tapi karena temannya tidak turun, dia tetap menunggu di bawah pohon. Ketika jambu itu berjatuhan, dia yang pertama memungut dan meninggalkan si pemanjat di atas dahan.

Badut tengik selalu begitu. Kerjanya cari untung tapi tak mau berusaha. Dia menakuti dan bahkan mengejek orang-orang yang sedang berusaha. Nanti kalau usaha itu berhasil si badut tengik yang jadi pahlawan.

Post a Comment

0 Comments