Di Sekolah

Tahun 2003 saya lulus PNS sebagai guru sekolah rendah. Ada tiga mata pelajaran yang saya pegang: Pendidikan Agama Islam, Bahasa Arab dan Tulisan Arab Melayu alias Jawo. Dua mapel terakhir masuk kategori Mulok.

Awal tahun 2004 saya sudah mulai bekerja, bukan mengabdi, sebab saya dibayar. Waktu itu usia saya 22 tahun lebih sikit. Masih lajang. Dari tahun 2004-2019 saya sudah bekerja di tiga sekolah. Pindah2.

Waktu itu setiap hari saya selalu bawa buku ke sekolah. Buku apa saja. Yang jelas bukan buku pelajaran. Buku2 itu saya baca pada saat tidak ada jam mengajar. Kadang2 juga saya bawa ke dalam kelas pada saat mengawas ujian.

Melihat pemandangan itu, oknum kepala sekolah merepet. “Kamu asyik baca buku. Buat apa baca buku yg tdk ada hubungan dgn pelajaran. Bagusnya baca Rpp.” Kira2 demikian kata beliau.

Beberapa lama kemudian saya juga sudah mulai bawa laptop ke sekolah. Di waktu2 kosong, selain membaca, saya juga menulis apa saja yang saya bisa. Tentang tahi terebus atau telur hiu. Tentang apa saja. Yang jelas bukan tentang pelajaran. Oknum kepala sekolah kembali protes. “Asyik menulis saja kamu.” Kira2 begitu komentar beliau. Padahal saya lakukan itu di luar jam pelajaran.

Di sekolah, saya memang tidak suka melibatkan dari dalam diskusi soal warna jilbab, model lipstik, atau cerita tentang isu perselingkuhan yg sering jadi topik perbincangan beberapa oknum guru. Tersebab itulah saya memilih agenda lain, seperti membaca atau menulis.

Saya terus saja begitu sampai sekarang. Sudah lebih 15 tahun.

Beberapa waktu terakhir saya dengar oknum kepala sekolah dan beberapa oknum guru yang pernah protes saya dulu, sekarang sudah bicara soal literasi. Mereka ikut pelatihan menulis. Mereka juga tulis buku. Dst. Mereka bersedia membayar pelatihan asal dapat sertifikat.

Beberapa di antaranya mereka ada juga yang singgung2 soal literasi saat bertemu saya. Mereka menjelaskan panjang lebar. Pokoknya panjang. Panjaaaaang kali.

Tapi, jawaban saya singkat saja; FUCK!

Post a Comment

0 Comments