Tungangisme di Tengah Wabah

Korban Covid-19 terus berjatuhan. Khususnya di Indonesia, kasus ini bukannya berkurang, tapi terus bertambah. Itu pun jika pemerintah jujur dengan angka-angka yang masih tampak kecil atau mungkin diperkecil demi menjaga sebuah kondisi yang disebut sebagai stabilitas.

Bermula dari dua orang yang terinfeksi dan diumumkan terlambat, dibanding negara lain, virus itu pun terus menyebar. Setelah singgah di tubuh seorang menteri yang sempat berkelakar soal khasiat nasi kucing, saat ini kononnya virus asing itu telah menyerang seorang walikota di Bogor.

Menyikapi virus itu, negara tetangga kita, Malaysia, telah mengumumkan Lockdown baru-baru ini. Sementara Indonesia masih belum berani mengambil sikap yang sama karena berbagai pertimbangan; mungkin pertimbangan ekonomi, potensi kerusuhan, atau mungkin ingin tetap menjaga citra agar Indonesia dianggap sebagai negara paling aman di dunia.

Namun begitu, kita tetap mengapresiasi langkah pemerintah yang masih setengah-setengah seperti meliburkan sekolah tapi pusat-pusat keramaian lainnya tetap terbuka semisal bandara dan pelabuhan yang masih bebas keluar masuk.

Di tengah badai virus yang semakin mencekam muncul pula para “faqih tungang” yang kemudian bersatu dan lalu membentuk barisan fuqaha medsosiah yang terlihat militan melebihi para pejuang di Suriah dan Palestina.

Layaknya “Imam Mujtahid Agung” mereka pun mengupas segala dalil, menafsir ayat, mendedah hadits, merajihkan pendapat seolah-olah mereka baru belajar kepada Ibn Umar dan Ibn Abbas atau bahkan Jibril.

Padahal ulama-ulama dunia sudah mengambil sikap berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki bahwa wabah mestilah dihindari. Tentunya itu bukanlah sikap buta, tapi berdasarkan kefaqihan mereka. Namun para penganut “Mazhab Tungangisme” alias tuli peluit tetap saja pada pendirian mereka sembari memelihara “kejahilan” yang disangkanya hidayah.

Kecuali itu, ada pula “badut-badut” yang ketika disuruh mengaji lebih memilih masuk gorong-gorong alias loep lam puep. Menurut mereka pembatasan salat Jumat atau salat jamaah adalah bentuk konspirasi non muslim untuk menjauhkan Muslim dari masjid. Konspirasi jahat, kata mereka. Namun anehnya mereka kurang berani memastikan apakah para ulama yang mengeluarkan fatwa tersebut adalah bagian dari antek-antek konspirasi atau mungkin para ulama yang membuat konspirasi.

Padahal jika ditilik, untuk menjauhkan para badut itu dari masjid tidak perlu konspirasi. Di hari-hari normal, diberikan kompensasi pun belum tentu mereka mau ke masjid.

Tampaknya mereka hanya ingin tampil beda. Pada kondisi normal ketika orang-orang ramai ke masjid, mereka memilih menjauh menepi dan mengasingkan diri dari seruan bilal yang hampir kehilangan suara. Tapi, dalam kondisi darurat di mana wabah sedang menyebar, mereka pun dengan congkaknya membelakangi penjelasan ahli agama dan lalu dengan rasa bangga berucap “Aku akan tetap setia di masjid.” Padahal kesetiaan mereka bukan pada masjid, tapi pada sikap mereka sendiri yang aneh.

Lagi pula pembatasan salat jamaah dan Jumat tidak secara otomatis berlaku di seluruh pelosok negeri, tapi bersifat kondisional, sesuai tingkat kerawanan sebagai langkah ikhtiar sebelum kemudian bertawakkal. Tapi mereka justru melawan keputusan itu dengan maksud jihad.

Uniknya lagi, mereka menganggap orang-orang yang patuh pada seruan pemerintah, ahli agama dan ahli medis sebagai pengecut dan takut pada wabah sembari mendeklarasikan diri mereka sebagai pemberani. Dipikirnya wabah virus itu Pak Haji yang bisa diajak diskusi atau teman karib yang bisa diajak ngopi.

Bersikap bodoh boleh jadi nasib atau bahkan takdir, tapi bergaya dengan kebodohan sembari membodoh-bodohi orang lain adalah jahil murakkab alias tolol pangkat dua.

Ilustrasi: cartoonmovement.com

Post a Comment

0 Comments