Demo ke Batavia

Depan Monas

Pada tahun 2002, saya bersama teman-teman aktivis mahasiswa di Aceh berangkat menuju Ibu Kota Negara Republik Indonesia, Jakarta, yang di masa kolonial dikenal dengan sebutan Batavia. Bagi saya, perjalanan itu adalah perjalanan pertama saya ke Jakarta, atau mungkin hanya sekali seumur hidup, karena sampai saat ini (tahun 2020) saya tidak pernah lagi ke sana.

Saat itu kalau tidak salah ingat ada sekitar 30 orang aktivis mahasiswa dari Aceh yang berangkat ke sana. Saya adalah salah satu dari mereka. Saat itu usia saya masih 21 tahun.


Bersama teman-teman di Jakarta dan almarhumah Cut Nur Asikin. (Penulis: tanda merah). KM, Agustus 2002

Kami berangkat dari Banda Aceh menuju Medan dengan menumpangi bus PMTOH. Saat itu saya tidak memiliki bekal sama sekali. Uang di kantong saya hanya Rp. 40 ribu yang kemudian habis total setelah membeli satu bungkus rokok Marlboro di kapal. Untuk tiket bus dan tiket kapal itu bukan urusan kami karena sudah diselesaikan oleh koordinator rombongan. Saat itu biaya keberangkatan kami dan juga makan-minum ditanggung oleh sponsor yang bersimpati pada nasib Aceh yang sedang dilanda perang.

Selama perjalanan dengan bus, kami sudah diingatkan oleh para senior (pimpinan mahasiswa) untuk tidak berbicara satu sama lain di dalam bus, kecuali dengan teman sebangku. Trik ini sengaja kami lakukan untuk mengesankan bahwa kami bukan berasal dari satu kelompok. Hal ini penting untuk mengelabui aparat kemanan yang melakukan razia di sepanjang perjalanan.

Di dalam bus, kami hanya diam dan berlagak tidak kenal satu sama lain, padahal seluruh penumpang bus adalah teman-teman kami, mahasiswa Aceh yang terorganisir dan punya tujuan yang sama. Dan bus pun melaju menuju Sumatera Utara, sementara beberapa senior sudah lebih dulu tiba di Jakarta karena naik pesawat.

Bus yang kami tumpangi sempat beberapa kali disetop aparat keamanan, tapi mereka tidak curiga karena kami sudah memainkan trik yang diajarkan senior. Akhirnya setelah berganti angkutan setiba di Sumatera Utara, kami pun sampai ke Pelabuhan Belawan.

Kendaraan kami selanjutnya adalah kapal laut yang sudah siaga di dermaga, kapal berukuran besar yang baru pertama kali saya lihat dengan mata kepala. Kami pun segera menaiki kapal tua bernama Kelud. Perjalanan laut segera dimulai.

Di dalam kapal kami bisa bebas bergerak dan berkomunikasi satu sama lain karena tidak ada lagi aparat yang mengawasi. Bagi saya, itu adalah pengalaman pertama menaiki kapal besar yang menyeberangi lautan luas. Sebelumnya saya pernah beberapa kali menumpangi kapal-kapal kecil saat menuju ke Pulau Sabang.

Selama di atas kapal, di malam hari, saya lebih sering berada di luar dan naik ke geladak paling atas untuk menyaksikan kilauan lampu-lampu di sekitar daratan yang kami lalui. Sementara di waktu pagi saya turun ke bagian bawah untuk menyaksikan pecahan ombak dan lumba-lumba yang menari-nari.

Malam pertama di atas kapal saya kehabisan rokok. Teman-teman yang lain juga sama. Akhirnya kami naik ke lantai paling atas. Di sana ada kantin. Saya membeli Marlboro seharga Rp. 30.000 dan secangkir minuman sachet seharga Rp. 10.000. Saat itu saya sempat protes, “Kenapa mahal?” Dengan santai, si pemilik kantin menjawab, “Kalau mau murah beli di sana, di bawah, di laut!”

Mendengar jawaban satire berbalut sarkas itu saya hanya bisa diam dan lalu mengisap sebatang Marlboro sambil menyeruput kopi sachet dan lalu melepas pandang ke laut lepas yang gelap. “Berengsek!”

Malam itu, tiba-tiba pula pikiran saya melayang ke kampung. Saya ingat ayah ibu. Mereka tidak tahu saya sudah berada di atas kapal yang akan menyeberang ke Pulau Jawa. Saya tidak memberitahu mereka dan bahkan menitip pesan ke kawan bahwa saya pergi ke Sabang. Tujuan saya agar mereka tidak khawatir karena kondisi saat itu sedang puncak-puncaknya konflik.

Konyolnya lagi, saat itu rumah yang saya diami di Lampoh U Kopelma Darussalam sedang dibangun kembali usai terbakar. Ayah mengirimkan uang ke rekening saya sekitar 30 juta untuk biaya bahan dan gaji tukang. Karena saat itu saya sudah sangat ingin berdemonstrasi ke Jakarta, akhirnya saya menitip ATM kepada seorang sepupu untuk pembiayaan pembangunan rumah. Saya pun nekat pergi. Dan malam pertama di atas kapal saya kembali teringat soal itu. Bagaimana jika tiba-tiba ibu saya sakit? Di atas kapal, saya tidak punya hp dan tidak bisa menghubungi mereka. Untuk meminjam hp teman juga sulitnya minta ampun karena saat itu pulsa benar-benar mahal sehingga semua teman berlomba-lomba untuk pelit. Agar lebih tenang, setelah menikmati beberapa batang rokok, saya pun tidur.

Malam kedua di atas kapal saya dikejutkan dengan suara sales yang berteriak-teriak menawarkan tiket bioskop. Katanya ada film bagus, film panas dengan harga sekian-sekian. Saya sempat ketakutan. Saya takut kapal akan tenggelam gara-gara ada penumpang yang menonton adegan “Si Unyil.” Malam itu saya berdoa dan tidur agak cepat agar kalau nantinya kapal benar-benar tenggelam saya tidak tahu.

Di malam berikutnya, saya kembali dikejutkan dengan ulah sepasang anak manusia yang saling berpelukan sambil menatap gelombang yang sesekali airnya memercik ke dinding kapal. Mereka berciuman.

Mereka bukan suami istri. Saya tahu betul karena laki-laki itu saya kenal di Aceh dan belum beristri. Sementara si perempuan saya tidak tahu dari mana. Mereka berkenalan di atas kapal dan langsung akrab dan lalu “bersatupadu.” Melihat pemandangan itu saya langsung menjauh dan kembali berdoa agar kapal tidak tenggelam sebelum kami sampai ke Jawa.

Setelah menempuh perjalanan laut selama 3 hari 4 malam, kami pun tiba di Pelabuhan Tanjung Periuk. Untuk pertama kalinya saya menyaksikan tanah Jawa, yang waktu itu masih saya yakini sebagai tanah “kolonial” karena ideologi nasionalisme Aceh yang telah terlanjur merasuk pikiran saya masa itu.

KM, Agustus 2002

Setelah turun dari kapal kami dijemput oleh aktivis-aktivis Aceh di Jakarta. Dengan menggunakan tumpangan yang berbeda, kami pun menuju meunasah Pasar Minggu, yang kemudian menjadi penginapan kami selama berada di Jakarta.

Saat pertama tiba di Jakarta, saya kembali teringat ayah ibu. Tapi saya tidak mungkin beritahu mereka. Dengan menggunakan telepon umum saya mencoba menelepon seorang sepupu. Beliau menjemput saya di Pasar Minggu dan membawa saya berkeliling Jakarta hampir seharian penuh bahkan sampai malam. Perjalanan keliling kota menjadi sangat mudah karena sepupu saya itu sopir taksi di Jakarta yang sudah sangat menguasai arena.

Sampai di suatu tempat, mobil yang kami tumpangi berhenti. Sepupu saya rupanya menelepon ibu saya di kampung dan mengabarkan bahwa saya sudah di Jakarta. Ayah ibu saya terkejut, tapi tidak marah. Saya pikir kondisi demikian cukup aman. Lalu dia menyodorkan hp kepada saya untuk berbicara dengan ayah ibu. Meskipun sedikit kesal, karena saya ke Jakarta tidak memberitahu mereka dan juga meninggalkan rumah yang sedang dibangun di Darussalam beserta ATM kepada orang lain, namun orang tua tetaplah orangtua. Mereka pun mengirimkan sejumlah uang sebagai bekal melalui sepupu saya.

Saya dan teman-teman berada di Jakarta sekitar 20 hari. Di sana kami melakukan berbagai agenda dan bersama kami juga turut serta beberapa orang korban kekerasan oknum aparat di Aceh. Kami mengunjungi beberapa tempat di Jakarta seperti beberapa kantor kedutaan negara asing dan juga tempat-tempat lainnya yang dianggap penting untuk mengampanyekan kekerasan Jakarta terhadap Aceh. Kelompok kami yang saat itu bergabung dengan masyarakat Aceh di Jakarta menamakan diri sebagai Tim Keprihatinan untuk Aceh.

Aksi di Monas. Penulis: tanda merah

Di sana kami juga sempat bertemu dengan Bustanil Arifin, seorang tokoh nasional yang pernah tinggal di Aceh. Saat itu kalau tidak salah, beliau menyumbang melalui cek senilai 30 juta Rupiah untuk biaya makan-minum kami yang berangkat dari Aceh. Saya ingat, uang itu kemudian dibagi dua, sebagian untuk kami dan sisanya untuk aktivis Aceh yang bermukim di Jakarta. Masing-masing kami dari Aceh mendapat Rp. 500.000 sebagai jajan. Saya pikir ini adalah salah satu bentuk kepedulian Bustanil Arifin terhadap Aceh dan juga perjuangan mahasiswa.

Di Jakarta, kami juga sempat bertemu Ibrahim Hasan, mantan Gubernur Aceh yang melegenda itu. Pertemuan dengan beliau tidak lama, hanya beberapa menit. Sewaktu keluar dari gedung, saya dan beberapa teman kebetulan satu lift dengan Ibrahim Hasan. Saat itu seorang teman sempat mengambil sebatang pulpen di kantong beliau. Kebetulan ada banyak pulpen di kantong tokoh Aceh itu. Dan gawatnya beliau tidak marah dan tersenyum saja ketika puplen itu “dicuri” dengan terang-terangan. Melihat kejadian itu saya juga mengambil satu pulpen lagi di kantong jas Ibrahim Hasan.

Kemudian, pada suatu hari, kami dan teman-teman di Jakarta berencana melakukan demonstrasi di beberapa tempat di sana, salah satunya kawasan Monas. Saat itu salah seorang teman kami dari Aceh tiba-tiba demam dan tidak jadi berangkat. Dia memilih tetap tinggal di menasah Pasar Minggu.

Saat itu saya bertanya kepada si teman kenapa tidak ikut. Dia jawab sedang demam. Lalu saya kembali bertanya kenapa tiba-tiba demam. Dengan wajah sendu dia berkata begini: “Kajak ju awak kah. Droekuh kakuculok bawang lam peuruncun, makajih ka demam” (Kalian saja yang berangkat, aku sudah memasukkan bawang ke dalam pantat, makanya demam).

Akhirnya saya sadar bahwa dia sedikit ketakutan karena tersiar kabar ada razia polisi yang akan menangkap siapa saja yang bukan berKTP Jakarta. Akhirnya trik bawang pun dimainkan agar tidak dilibatkan dalam demonstrasi.

Lalu kami pun berangkat untuk melakukan demonstrasi bersama teman-teman lainnya.

Ada satu cerita lagi yang saya ingat. Saat itu seorang teman yang berasal dari Meulaboh tiba-tiba ingat orangtuanya di kampung. Lalu dia pun melakukan miscall ke nomor telepon rumah orang tuanya. Dia menunggu untuk beberapa lama. “Hana geutelpon lom padahai kalheuh tamiscall” (Belum ditelepon balik padahal sudah dimiscall) katanya kepada kami. Akhirnya kami saling melihat kiri-kanan. Begitulah kami anak muda yang baru mengenal hp. “Kiban geutelepon balek ka miscall nomor telepon rumoh” (bagaimana mungkin ditelepon balik, kamu miscall ke nomor telepon rumah). Tiba-tiba saja si teman sadar bahwa nomor hpnya tidak akan mungkin muncul di telepon rumah.

Setelah semua agenda di Jakarta selesai, saya sempat berkeliling ke beberapa tempat di sana. Saya pikir selagi ada kesempatan harus digunakan dengan baik. Saat itu sepupu saya mengajak ke Ragunan, ke kebun binatang.

Di Ragunan

Akhirnya waktu pulang pun tiba. Kami segera bersiap-siap dan menuju ke pelabuhan. Kami pulang dengan kapal laut. Hanya beberapa bulan setelah kami tiba di Aceh, Pemerintah Republik Indonesia mengumumkan status Darurat Militer untuk Aceh. Era KTP Merah Putih pun dimulai.

Post a Comment

0 Comments