Safir, Deru di Jalan Sunyi


“Coba kamu ke depan!”

Mahasiswa yang merasa namanya dipanggil bergegas menuju ke depan kelas dengan langkah sedikit layu.

“Ini coba kamu baca!”

Dosen bertubuh tinggi semampai itu menunjuk beberapa baris kalimat dalam sebuah kitab yang tergeletak di atas meja. Dia mengulang “perintah” beberapa kali. Namun, mahasiswa itu tampak bergeming bersama mata yang terus berkedip.

“Saya gak biasa baca kitab itu, Pak.”

Mendengar jawaban demikian, dosen berkacamata itu meminta si mahasiwa untuk duduk. Dengan mulut masih terkunci dan roman sedikit kesal, si mahasiswa pun duduk.

Kejadian itu terjadi di ruang kuliah Pascasarjana UIN Ar-Raniry pada 2014, sembilan tahun lalu. Saat itu, dosen kami, Pak Safir, lengkapnya Dr. Teuku Safir Iskandar Wijaya, sedang mengajar mata kuliah Studi Naskah Pemikiran Islam. Dalam mengajar mata kuliah tersebut, beliau sering membawa kitab-kitab berbahasa Arab untuk dibaca dan ditelaah bersama mahasiswa.

Hari itu beliau membawa Kitab al-Mustashfa karangan Al Ghazali. Namun, penjelasan beliau tentang satu topik dari kitab itu mendapat respons negatif dari seorang mahasiswa, sebut saja namanya Pot Bunga (untuk tidak selalu menyebut bunga).

Si Pot Bunga meragukan apa yang sedang dibaca dan diterjemahkan oleh Pak Safir. Menurut Pot Bunga yang merupakan lulusan sebuah dayah besar di Aceh, tidak mungkin Al Ghazali mengatakan seperti itu. Dia menganggap penjelasan Pak Safir tentang Al Ghazali sama sekali tidak sesuai dengan gambaran tentang Al Ghazali yang didapatnya di dayah.

Nah, saat itulah Pak Safir meminta si Pot Bunga untuk membaca sendiri matan kitab al-Mustashfa. Namun, si Pot Bunga mengaku tidak bisa membaca dengan dalih belum pernah melihat kitab tersebut di dayah. Padahal, sebelumnya dia sering kali memotong pembicaraan ketika Pak Safir sedang menjelaskan ~ sesuatu yang pantang bagi beliau.

Saya yang melihat “ketegangan” tersebut tentu tidak mampu menahan diri untuk tidak memberi komentar ~ yang tentunya “mendukung” apa yang disampaikan dosen berkacamata itu, sebab “sepertinya” kami memiliki alur pikir yang sama.

Jujur saja, saya menyukai cara Pak Safir berargumen yang berbasis referensi dan pikiran kritis~ yang pastinya akan selalu berbenturan dengan orang-orang seperti Pot Bunga yang secara faktual kerap menjadikan “imajinasi” dan fanatisme buta sebagai landasan berpikir dan lalu mempertahankan pikiran itu mati-matian laksana mujahid di Medan perang.

Namun, bukan berarti saya sepakat sepenuhnya dengan alam pikir Pak Safir yang terkadang “menggelinding jauh” ~ dengan sedikit “sentimen” kepada tokoh-tokoh agama tradisional~yang menurut beliau hanya mengandalkan serban, tapi minus pengetahuan.

Pernah suatu kali beliau mengatakan kalau serban pemuka-pemuka agama itu kita lempar ke dalam kolam, maka ikan-ikan akan mati. Pernah juga beliau mengingatkan agar mahasiswa meninggalkan “kepercayaannya” ketika hendak masuk ruang kuliah. Dan seterusnya.

Ada banyak pernyataan beliau yang terdengar ganjil~yang kemudian berbenturan dengan pemikiran orang-orang sejenis Pot Bunga. Meskipun pernyataan tersebut mengandung kebenaran~jika dipahami secara kritis dan mendalam~namun hal-hal seperti itu (menurut saya) tentu akan lebih baik jika tidak diungkapkan di depan orang-orang seperti Pot Bunga, yang tanpa babibu akan menuding beliau “sesat” dan seterusnya. Namun, Pak Safir bukanlah tipe intelektual yang bisa dibendung. Dia menggunakan hak berpikirnya secara bebas tanpa peduli pada respons-respons yang kemudian muncul.

Jika dirunut ke belakang, ketertarikan saya kepada Pak Safir diawali ketika beliau membicarakan Harun Nasution dengan begitu cakap. Saya sendiri sudah menyukai buku-buku Harun (meskipun dikatakan sederhana) pada semester awal kuliah S1, ketika pertama sekali saya menemukan buku itu dalam rak buku ayah saya. Buku-buku Harun sangat membantu saya untuk berpikir sedikit jernih di fase-fase awal.

Sebagai pembaca buku-buku Harun~tentu saya tidak kesulitan untuk “menyesuaikan diri” ketika pertama sekali mengenal Pak Safir yang kerap berbicara “apa adanya.” Karena itu pula, saya sering mendiskusikan banyak hal dengan beliau, tidak hanya di ruang kuliah, tapi diskusi itu juga berlangsung ketika kami bertemu di luar. Saya juga sering berkunjung ke rumah beliau untuk sekadar bertanya atau pun berdiskusi. Terlebih ketika ada isu-isu panas yang sedang bergentayangan di Aceh.

Pemikiran Pak Safir yang seperti bara, yang sesekali bisa memicu api, tak pernah saya dengar dari dosen-dosen saya yang lain di UIN. Pak Safir memiliki alur pikir sendiri, jalan sendiri, yang memang jarang dilalui oleh intelektual lain yang pernah saya kenal. Karena itulah sosok Safir dan pemikirannya begitu “menggoda” bagi siapa pun yang ingin menyelaminya.

Pak Safir tidak tampil hanya sebagai pengajar yang mentransfer pengetahuan, tapi lebih dari itu, dia seorang guru yang punya perhatian pada murid-muridnya. Pernah suatu kali beliau mengkritik artikel saya yang terbit di Harian Waspada pada 2014. Saat itu saya mengkritik fatwa MPU Aceh dengan menyebutnya sebagai “Fatwa Pujangga” ketika lembaga itu menyesatkan kelompok Salafi.

“Jangan semua yang kamu tahu dan kamu dengar kamu tulis, bahaya.” Demikian kata Pak Safir saat itu, setelah sebelumnya beliau meminta file tulisan itu untuk dibaca. Setelah itu beliau sering meminta file tulisan saya setelah tulisan itu dimuat di koran. Beberapa artikel saya lainnya juga kena hantam dari beliau, meskipun beliau sendiri sepakat dengan apa yang saya tulis.

Kondisi demikian membuat saya berpikir kalau Pak Safir telah melawan pikirannya sendiri. Tapi, setelah mengecap dan merenungi nasihat beliau, saya tersadar dan Pak Safir benar, bahwa tidak semua hal mesti kita ungkapkan. Namun, yang membuat saya heran, kenapa Pak Safir justru melakukannya?

Pada 2017, ketika saya ingin menerbitkan buku tentang Wahabi di Aceh, saya meminta Pak Safir menuliskan pengantar. Beliau menyanggupi dan berjanji akan menulisnya secepat mungkin. Namun, sepertinya beliau tidak memiliki cukup waktu ~atau mungkin lupa~meskipun saya ingatkan berkali-kali~atau bisa jadi selera menulis beliau sedang berada pada titik nadir kala itu, sehingga buku tersebut terpaksa terbit tanpa pengantar dari beliau, salah seorang guru yang saya kagumi.

Setelah itu saya sudah tidak pernah lagi bertemu Pak Safir. Namun, tetap menjalin komunikasi melalui WhatsApp.

Kemarin (Jumat, 19 Mei 2023), Pak Safir telah pergi menghadap Tuhannya. Sesuai namanya, Safir (perjalanan, perantau)~dia tidak mungkin berhenti dan akan terus berjalan bersama pemikiran-pemikirannya yang selalu memancing orang-orang untuk berpikir. Pikiran-pikirannya akan tetap mengambang dan terapung dalam ingatan orang-orang yang pernah mengenalnya. Dan pikiran-pikiran itu tak mungkin padam. Dia akan terus berkilau layaknya Safir berharga mahal. Allahummagfirlahu….

Post a Comment

0 Comments