Masjid Sulu Bayung

Pada umumnya di Aceh, setiap satu kemukiman memiliki satu masjid yang disebut sebagai masjid jamik. Para jamaah masjid ini berasal dari beberapa desa dalam wilayah kemukiman tersebut. Istilah lain yang sering digunakan untuk kemukiman adalah wilayah kemasjidan karena warga kemukiman tersebut melaksanakan ibadah di satu masjid.

Di kampung kami juga demikian. Di sini berdiri sebuah masjid kemukiman yang meliputi enam desa dalam wilayah Kemukiman Cot Bada. Beberapa desa dimaksud adalah Cot Bada Baroh (kampung saya), Cot Bada Barat, Cot Bada Tunong, Cot Keumude, Cot Girek dan Sagoe (kampung Irwandi Yusuf).

Menurut cerita beberapa tokoh sepuh di kampung, masjid di kampung saya ini didirikan oleh nek chik saya bersama nek chik orang lain. Masjid tersebut didirikan pada era kolonial, tapi tidak jelas tahun berapa. Nek chik dan kakek saya pernah menjadi imum chik di masjid tersebut. Demikian pula dengan nek chik dan kakek orang lain.

Lokasi masjid tersebut hanya beberapa meter dari rumah keluarga kami. Sangat dekat.

Di masa kecil, masjid itu, selain untuk shalat dan mengaji, juga menjadi salah satu tempat bermain bagi anak-anak seusia kami. Main kejar-kejaran dan perang-perangan. Kadang-kadang juga berenang dalam bak wudhu pada saat hendak dibersihkan pak bilal.

Masjid Jamik.Cot Bada sebelum renovasi, saya sempat latihan silat di sini

Seingat saya, dulu masjid kami itu bernama Masjid Jamik Cot Bada. Nama ini sudah digunakan puluhan tahun. Masjid ini juga telah mengalami beberapa kali renovasi dari masa kolonial sampai sekarang.

Pada tahun 1980-an sampai 2000-an ketika masih bangunan lama, dalam masjid terdapat satu tiang dari kayu yang tinggi menjulang. Tiang kayu itu berdiri di bagian tengah masjid sebagai penyangga.

Menurut cerita beberapa tokoh masyarakat, kayu tersebut di dapatkan di kawasan pantai wilayah Jangka. Saat itu beberapa masyarakat mencoba mengambil kayu yang dikenal dengan nama sulu bayung itu, tapi tidak ada yang berhasil mengangkat. Akhirnya, masih menurut cerita, kayu tersebut diambil oleh masyarakat kampung kami dan dibawa pulang ke Cot Bada. Kayu itu pun berhasil diangkat.

Kayu sulu bayung tersebut kemudian diukir tulisan kaligrafi dan sejak saat itu dijadikan sebagai tiang tengah di masjid Cot Bada. Menurut cerita, sejak menjadi tiang tengah masjid, kayu ini sudah mulai dianggap keramat oleh sebagian besar masyarakat kampung kami. Kekeramatan kayu sulu bayung tersebut diawali oleh kejadian saat ia ditemukan di pantai jangka, di mana hanya orang kampung kami yang sanggup mengangkatnya.

Karena sudah dianggap keramat, sejak waktu itu ramai masyarakat yang bernazar pada sulu bayung. Mereka meyakini air bekas siraman ke tiang sulu bayung dapat menyembuhkan penyakit. Ada juga sebagian masyarakat yang bernazar dengan perantaraan tiang kayu tersebut.

Mitos tentang kekeramatan sulu bayung masih diyakini sampai saat ini oleh sebagian masyarakat kampung kami. Saya sendiri termasuk golongan yang tidak percaya dengan takhayul serupa itu.

Hebatnya lagi akibat kefanatikan beberapa pengurus masjid akhirnya nama Masjid Jamik Cot Bada yang sudah digunakan puluhan tahun lalu telah pun diganti menjadi Masjid Sulu Bayung Kemukiman Cot Bada.

Pergantian nama ini dilakukan pada 2018 pasca selesai renovasi terakhir. Kayu sulu bayung yang di bangunan lama berdiri di tengah masjid sekarang sudah dipindahkan ke luar masjid.

Tiang itu sekarang berdiri megah di pojok depan masjid. Sepintas tiang tersebut mirip payung. Sampai saat ini masih ada sebagian masyarakat yang “mencari berkah” di tiang itu.

Kayu Sulu Bayung

Terlepas dari semua itu, masjid tersebut telah menyisakan banyak kenangan bagi kami sejak kecil yang sebagian besarnya adalah kenangan manis semasa masih kanak-kanak. Ada pun kenangan pahit hanya terjadi satu kali pada sekira tahun 2000.

Saat itu ayah saya menjadi khatib rutin di masjid itu. Pada suatu ketika tahun 2000, selesai membacakan khutbah ada oknum yang memprotes bahwa khutbah beliau tidak sah, sebab tidak diulang. Padahal sudah puluhan tahun masjid itu mempraktikkan dua model khutbah. Sejak saat itu ayah saya pun tidak lagi bersedia khutbah di masjid tersebut meskipun jarak masjid dan rumah kami sangat dekat.

Post a Comment

0 Comments