Kampanye Politik dan Kekuasaan

Meskipun mengaku sebagai negara demokrasi, tapi terasa ada yang tidak adil di negeri ini. Mungkin ada banyak sekali ketidakadilan yang bisa diurai, namun tulisan ini memilih untuk mempersempit pembahasannya hanya dalam konteks politik praktis.

Karena belakangan ini saya tidak begitu peduli dengan undang-undang dan peraturan terkait politik praktis dalam kaitannya dengan pemilu, sebab saya tidak ambil bagian dalam pertarungan itu, maka saya pun tidak begitu mengerti tentang aturan-aturan tersebut. Dengan demikian tulisan ini pun lahir dalam ketidakmengertian sehingga tidak perlu menuduh saya sebagai tidak mengerti.

Kembali kepada keadilan pentas pemilu, saya (dan kita semua) melihat beberapa kampanye yang dilakukan oleh mereka-mereka yang masih menjabat sebagai eksekutif dan legislatif di lembaga formal pemerintah. Setelah mereka mencalonkan diri kembali, mereka masih tetap pada jabatannya. Dengan kata lain, mereka tidak mundur dari jabatan tersebut. Kondisi inilah yang kita sebut sebagai ketidakadilan dan bahkan tidak demokratis alias tidak “fair.”

Disebut tidak demokratis sebab kondisi tersebut menciptakan “jurang” antar-kompetitor yang satu dengan yang lain. Di sinilah terletak ketidakadilan itu, di mana satu kalangan diuntungkan dan kalangan lainnya dirugikan.

Seperti kita lihat, seorang anggota dewan yang kemudian mencalonkan diri kembali sebagai caleg akan sangat mudah melakukan kampanye dalam tugas-tugasnya sebagai anggota dewan. Dalam hal ini publik sulit membedakan yang mana aktivitasnya sebagai anggota dewan dan yang mana pula aktvitasnya sebagai caleg. Semuanya telah bercampur baur. Dengan demikian mereka bisa saja menggunakan setiap fasilitas negara yang melekat pada dirinya untuk melakukan kampanye politik.

Begitu pula dengan calon presiden yang tidak mundur dari jabatannya ketika mencalonkan diri pun berpotensi melakukan tindakan serupa. Acara peresmian jalan tol misalnya — yang pada prinsipnya adalah aktivitas jabatan bisa saja berjalan beriringan dengan kampanye politik, baik terbuka maupun terselubung.

Tidak hanya itu, seorang capres yang masih menjabat presiden bukan tidak mungkin akan menggunakan kekuasaannya untuk mempermulus kemenangannya dalam kontestasi politik. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Jika demikian, di mana letak keadilan? Di mana pula letak suasana demokratis jika kesempatan yang sama tidak dimiliki oleh kompetitor mereka?

Terakhir, khususnya terkait soal presiden nyapres, tulisan ini hanya bicara tentang kesamaan kesempatan antar pesaing dan tidak ada urusan dengan dampak dari sudut ketatanegaraan seperti disampaikan Yusril Ihza Mahendra.

Post a Comment

0 Comments