Pengalaman Wawancara dengan Ulama Dayah

Untuk kepentingan penulisan tesis sebagai salah satu persyaratan mendapatkan gelar magister di Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry, saya harus melakukan wawancara dengan beberapa ulama dayah di Aceh. Kegiatan wawancara ini menghabiskan waktu hampir dua tahun. Rentang waktu yang lumayan panjang ini disebabkan oleh berbagai persoalan teknis yang saya temui di lapangan.

Setelah menyelesaikan seluruh mata kuliah wajib pada Konsentrasi Pemikiran dalam Islam di Pascasarjana UIN Ar-Raniry saya pun mengajukan proposal tesis ke bagian akademik. Proposal tesis tersebut saya ajukan menjelang akhir tahun 2015, tepatnya pada 6 Desember.

Proposal tesis saya yang berjudul “Wahhabi dalam Perspektif Himpunan Ulama Dayah” diterima dalam Sidang Proposal pada 2016 dengan sedikit perubahan judul. Berdasarkan keputusan penguji dan pembimbing judul tesis menjadi “Wahhabi dalam Perspektif HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh) dan Implikasinya terhadap Kehidupan Sosial Keagamaan di Aceh.”

Pihak akademik menunjuk Prof. Misri A. Muchsin dan Dr. Lukman Hakim, M. Ag sebagai pembimbing. Sejak saat itu saya pun mulai melakukan penelitian dari 2016 dan baru selesai pada 2018.

Setelah mendapat SK penelitian, saya segera berkeliling ke beberapa dayah di Aceh untuk melakukan wawancara. Saya bergerak seorang diri untuk menjumpai para ulama yang sangat dihormati itu.

Saya memang sempat merasa “goyang” untuk berhadapan dengan mereka. Namun demi sebuah “misi” dan kepentingan penelitian, saya segera membuang perasaan-perasaan itu jauh-jauh. Saya mencoba menanam keyakinan bahwa mereka pada dasarnya adalah manusia-manusia biasa. Yang membedakan saya dan mereka adalah dari sisi keilmuan dan karisma yang mereka miliki.

Bersama Abu Tumin

Dalam pertemuan dengan para ulama itu saya mencatat banyak hal. Meskipun mereka adalah ulama yang dihormati, namun sisi-sisi kemanusiaan mereka tetap terlihat melalui interaksi dan pola komunikasi.

Di antara sekian ulama ‘karismatik’ yang saya temui, saya terkesan dengan beberapa sosok seperti Tgk. Muhammad Amin Mahmud (Tumin), Tgk. Nuruzzahri (Waled Nu), Tgk. Mustafa Puteh (Abu Paloh Gadeng), Tgk. M. Yusuf A. Wahab (Tu Sop), Tgk. Bulqaini Tanjongan, Tgk. Faisal Ali (Lem Faisal), Tgk. Faisal Hasan Sufi dan Tgk. Syech Syamaun Risyad.

Beberapa ulama tersebut menyambut saya dengan cukup baik hampir tidak ada sekat. Meskipun mereka memiliki karakter yang berbeda, namun saya bisa membangun komunikasi yang terbuka. Saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kemudian dijawab dengan serius dan penuh perhatian.

Ketika menjumpai Abu Tumin, sebagaimana pengunjung lainnya saya juga dijamu dengan minuman dan makanan ringan sembari menunggu beliau menuju ruang tamu. Beliau berbicara sangat lembut dan hati-hati. Jika pengunjung sedang ramai, maka kami akan berbicara bergantian.

Untuk dapat menjumpai Abu Tumin sama sekali tidak memerlukan perantara. Cukup datang langsung ke rumah beliau, jika beliau ada di tempat, maka akan tetap dilayani.

Demikian pula pertemuan saya dengan Abu Paloh Gadeng juga berlangsung nyaman. Beliau mempersilakan saya masuk untuk kemudian berbincang dengan santai. Abu Paloh Gadeng sangat terbuka dengan segala informasi yang saya butuhkan.

Sambutan serupa juga saya alami di kediaman Tu Sop. Saat itu beliau sedang mencalonkan diri sebagai calon bupati Bireuen. Tu Sop adalah perokok berat. Selama wawancara beliau menghabiskan hampir dua bungkus rokok sambil terus berbicara lancar. Bagi saya ini adalah keunikan tersendiri. Saya juga sempat menyaksikan beberapa tamu yang datang tidak membawa kue atau minuman, tapi membawa rokok sebagai oleh-oleh untuk Tu Sop.

Dalam pertemuan dengan Tu Bulqaini, saya juga disuguhkan pemandangan menarik. Di dayah Tu Bulqaini mayoritas yang menjadi santri adalah anak yatim. Saya melihat langsung bagaimana dia berkomunikasi dengan mereka. Dia benar-benar menampilkan diri sebagai seorang “bapak” yang penuh kasih sayang terhadap anak yatim.

Bersama Tu Bulqaini

Selama penelitian saya juga sempat mewawancarai Tgk.Faisal Hasan Sufi dan Tgk. Syech Syamaun Risyad, di mana keduanya sering dituduh sebagai ulama Wahhabi oleh sebagian oknum di Aceh. Saya menemui Syech Syamaun di Pesantrennya di Lhokseumawe dan Tgk. Faisal Hasan Sufi di sebuah rumah sakit di Bireuen. Kedua ulama ini juga menyambut saya dengan cukup baik.

Saya mewawancarai Tgk Faisal Hasan Sufi hampir empat jam di sebuah kamar Rumah Sakit Malahayati, Bireuen. Ini adalah wawancara terlama yang pernah saya lakukan. Beliau bercerita banyak hal dengan santai dan lancar dan lalu saya mencatatnya dengan hati-hati.

Pengalaman lainnya juga saya rasakan ketika mewawancarai Syech Syamaun Risyad. Saat itu saya menunggu beliau hampir satu jam di masjid dayah, tapi beliau tidak kunjung keluar. Lalu saya memaksa diri memasuki masjid untuk memastikan keberadaan beliau. Saat itu saya temukan beliau masih duduk seorang diri sambil berzikir. Setelah memberi salam, kami berbincang sejenak dalam masjid dan lalu keluar menuju kediaman beliau. Sama halnya seperti Tgk. Faisal Hasan Sufi, saya mewawancarai dan berdiskusi dengan Syech Syamaun Risyad dalam durasi yang lumayan lama.

Sambutan hangat juga saya rasakan ketika bertemu Waled Nu. Saya mewawancarai beliau di ruangnya di Dayah Ummul Ayman. Beliau menyediakan kopi susu untuk saya. Saya bisa berdiskusi panjang lebar tanpa harus merasa malu-malu. Beliau juga punya selera humor yang tinggi.

Ulama lainnya yang coba saya temui tapi gagal adalah Tgk. Hasanoel Bashri (Abu Mudi) dan Tgk. Usman Kuta Krueng (Abu Kuta). Saya mendapatkan banyak kendala untuk menemui dua ulama karismatik ini.

Saya berangkat ke Kuta Krueng, Ulee Glee selama tiga kali. Abu Kuta ada di tempat, tapi tamunya lumayan ramai dan bahkan sangat ramai. Mereka membawa sejumlah jeriken penampung air untuk kemudian dirajah oleh Abu.

Beberapa kali saya bisa masuk ke rumah Abu Kuta dan duduk di hadapannya, tapi saya gagal melakukan wawancara karena tamu yang sangat ramai sehingga berdesak-desakan. Saya sudah mencoba melakukan komunikasi dengan murid yang mendampinginya. Tapi lagi-lagi alasan banyak tamu selalu saja menjadi penghalang sehingga akhirnya saya memutuskan untuk tidak melakukan wawancara dengan beliau.

Ulama dayah lainnya yang sulit ditemui adalah Abu Mudi. Kesulitan ini muncul bukan karena ramainya tamu atau padatnya agenda beliau, tapi karena ketatnya sistem protokoler di Dayah Mudi Mesra Samalanga.

Tidak kurang lima kali saya datang ke dayah Mudi dalam sesi waktu berlainan; mulai dari pagi, siang, sore, malam dan bahkan di waktu Subuh di mana saya harus salat Subuh di Samalanga, tapi saya tetap saja gagal menemui beliau.

Ada prosedur di Dayah Mudi, di mana setiap tamu harus melapor kepada para penjaga alias piket di dalam gerbang. Saya menuruti prosedur ini, tapi para penjaga piket beralasan bahwa Abu Mudi sedang ada acara ini dan itu. Saya tunggu sampai acara selesai, tapi Abu Mudi tetap tidak bisa ditemui. Yang membuat saya kurang berkenan adalah sikap penjaga piket yang saya perhatikan tidak mencoba melapor kepada Abu Mudi, padahal saya bisa melihat Abu Mudi berada di ruangannya tanpa kegiatan.

Dalam kunjungan keempat kalinya saya berhasil mendapatkan nomor kontak ajudan beliau, saya diminta datang di waktu Subuh. Sebagaimana janji saya pun datang sekitar pukul lima pagi. Saya menunggu beliau memberikan pengajian setelah Salat Subuh. Selesai pengajian, saya kembali menghubungi ajudannya, tapi kata ajudannya beliau sudah beristirahat. Akhirnya saya pulang.

Pada kunjungan kelima saya meminta kepada penjaga piket untuk dapat berjumpa langsung dengan Abu Mudi setelah saya pastikan beliau ada di sebuah ruangan dayah. Saya melihat beliau tidak ada kegiatan.

Permintaan saya ini ditolak oleh penjaga piket, katanya tidak boleh bertemu langsung. Penjaga piket mengatakan kepada saya, untuk berjumpa dengan presiden saja tidak boleh langsung, harus melapor, harus begini dan begitu. Saya sempat geram dengan jawaban itu. Akhirnya saya bertanya kepada penjaga piket, apakah begitu sulitnya bertemu Abu Mudi? Dia jawab, yang bisa bertemu langsung Abu Mudi cuma orang-orang seperti menteri, pejabat atau tamu-tamu dari luar negeri. Kalau yang lain harus menunggu.

Mendengar jawaban itu, saya langsung pulang. Saya memutuskan untuk tidak mewawancarai beliau. Dalam kesimpulan subjektif saya, Dayah Mudi terlalu elite dengan protokoler yang cukup rumit.

Akhirnya saya menyelesaikan penulisan tesis saya tanpa menyertakan keterangan atau informasi dari Abu Mudi. Saat saya melakukan penelitian, Abu Mudi masih berstatus sebagai Ketua HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh).

Tesis saya telah disidangkan di Ruang Sidang Pascarsarjana UIN Ar-Raniry pada 23 April 2019. Bertindak selaku penguji: Prof. Dr. Sjamsul Rijal, M. Ag; Dr. Samsul Bahri, M. Ag; Prof. Misri A. Muchsin, M. Ag; Dr. Lukman Hakim, M. Ag; Dr. Abdullah Sani, MA selaku ketua sidang dan Loeziana Uce, S. Ag, M. Ag selaku sekretaris.

Post a Comment

0 Comments