Waktu masih kecil saya menempuh pendidikan dasar di MIN Cot Bada yang berjarak sekira 1 km dari rumah. Saya masuk sekolah dalam usia enam tahun karena saat itu tidak ada ketentuan harus tujuh tahun. Teman-teman saya di sekolah ini adalah teman sepermainan dan sekampung.
Di MIN, dari kelas 1 sampai kelas 6, meskipun tidak pernah mendapat ranking tiga besar, namun saya tetap berada dalam lingkaran sepuluh besar. Biasanya saya dapat urutan 6-10. Ranking ini tidak tetap dan terus berubah, tapi masih dalam putaran angka-angka itu.
Saat-saat mengejutkan itu terjadi ketika saya masuk MTsN di Matangglumpangdua pada 1993. Waktu di MIN kami hanya mempelajari pelajaran formal yang terbatas dalam ruang kelas. Beda halnya dengan MTsN, di sana sudah tersedia program ekstrakurikuler.
Saat itu, ketika masih menjadi siswa di kelas 1 MTsN saya pun mendaftar di program Pramuka. Saya ingin belajar baris-berbaris, naik tambang dan sesekali bisa ikut kamping. Dan yang penting saya bisa pakai seragam khas Pramuka.
Tiba di rumah saya meminta izin kepada ayah untuk bisa ikut Pramuka. Saat itu para pembina Pramuka di sekolah menyerahkan surat izin orangtua yang harus ditandatangani.
Ayah memberi saya satu syarat agar surat itu bisa ia tandatangani. Syaratnya belajar nomor satu sedangkan Pramuka nomor dua. Artinya saya harus mengutamakan belajar. Persyaratan itu saya sanggupi dan surat itu pun ditandatangani.
Seperti yang telah saya janjikan pada ayah, saya pun belajar dengan tekun. Tidak hanya di sekolah, tapi juga di rumah. Usai Maghrib, selesai salat saya membaca buku, mengulang pelajaran dan sesekali menghafal. Saya baru tidur selesai salat Isya. Selesai salat subuh saya juga belajar sekitar 20 menit.
Namun nasib buruk itu tidak bisa dihindari. Wali kelas kami, Ibu Maknawiyah (almarhumah) mengingatkan kami agar tidak aktif di Pramuka. Siapa saja yang aktif di Pramuka akan mendapat nilai jelek. Kira-kira begitu pesan beliau. Beliau ingin kami fokus belajar. Saya ingat, selain wali kelas, saat itu beliau juga mengampu pelajaran Akidah Akhlak.
Meskipun mendapat ancaman demikian, saya tetap aktif di Pramuka karena tidak menganggu proses belajar. Kegiatan Pramuka berlangsung sepulang sekolah dan di hari Minggu. Jadi saya menganggap ancaman wali kelas sebagai tidak masuk akal.
Akhirnya ujian catur wulan pun tiba. Ayah saya marah besar ketika melihat hasil rapor. Saya mendapat ranking 32. Peringkat dua paling bawah dari 33 siswa.
Akibatnya, ayah meminta saya keluar dari Pramuka, tapi tidak saya hiraukan. Saya merasa tidak bersalah karena saya tidak pernah meninggalkan pelajaran. Bahkan saya yakin kalau soal ujian sudah saya jawab dengan benar.
Pada catur wulan kedua saya mendapat ranking 27. Seperti sebelumnya ayah kembali meminta saya keluar dari Pramuka. Beliau masih marah dengan hasil yang saya dapatkan, tapi tak semarah dulu. Permintaan ayah lagi-lagi tidak saya hiraukan.
Sebenarnya saya paham bahwa ayah merasa malu dengan Ibu Maknawiyah, sebab saat itu ayah saya menjabat sebagai Kepala KUA di Peusangan. Ayah juga mantan guru Bahasa Arab di MAN Peusangan yang lokasinya bersebelahan dengan MTsN.
Saat itu kemarahan saya kepada Ibu Maknawiyah yang anti Pramuka sudah tak tertahan. Tapi saya tidak mungkin melakukan gerakan apa pun untuk melawan, karena beliau adalah guru yang bagaimana pun harus saya hormati. Namun begitu, ketika beliau masuk kelas, saya sering ke luar. Saya benar-benar marah.
Pada ujian catur wulan ke tiga saya mendapat ranking 15. Kali ini ayah tidak terlihat marah. Mungkin karena ranking yang saya peroleh sudah lumayan membaik, meskipun tak sesuai harapan.
Setelah naik kelas 2, perubahan total pun terjadi. Saat itu saya masih aktif di Pramuka. Tapi wali kelas saya bukan lagi Ibu Maknawiyah, tapi Pak Jafar. Berbeda dengan Ibu Maknawiyah, Pak Jafar tidak peduli dengan kegiatan apa pun yang kami lakukan sepulang sekolah. Baginya yang penting kami rajin belajar dan bisa menjawab soal ujian.
Di kelas 2, dari catur wulan pertama sampai catur wulan ketiga saya selalu mendapat ranking 3. Saya tentu sangat berterima kasih kepada Pak Jafar karena tidak mempersoalkan kegiatan saya di Pramuka. Dan yang penting ayah saya tidak lagi berkomentar soal Pramuka.
Di kelas 3 MTsN saya juga berada dalam lingkaran lima besar. Demikian pula saat saya melanjutkan ke MAN Peusangan juga bisa bertahan dalam enam besar. Dan yang penting saat itu saya masih terus aktif di Pramuka.
Terlepas dari ranking 32 yang pernah saya pikul di kelas 1 MTsN Matangglumpangdua, selepas menamatkan MTsN pada 1996, rasa marah saya kepada Ibu Maknawiyah benar-benar hilang. Walau bagaimana pun beliau adalah guru saya yang menginginkan siswa-siswanya berhasil dalam belajar. Oleh sebab itu saya senantiasa mendoakan Ibu Maknawiyah. Allahummagfirlaha warhamha…
0 Comments