Wibawa

Dulu, pada sekira tahun 1999, dosen saya yang saat itu mengampu matakuliah Ilmu Pendidikan pernah mengatakan kepada kami: “Menjadi seorang pendidik itu harus berwibawa.” Sebagai mahasiswa, kami hanya mengangguk mendengar kalimat yang terucap dari mulut beliau tanpa ada upaya untuk memprotes.

“Kalian tahu bagaimana caranya agar kita berwibawa?” tanya sang dosen yang sudah tidak mampu lagi saya ingat namanya. Saya melupakan namanya bukan karena tidak menghormatinya, tapi yang namanya lupa memang tidak bisa diajak kompromi.

“Kalian tahu?” ulang sang dosen yang berpostur pendek dan berkulit agak cerah itu. Kumis kecilnya terlihat bergerak dan naik turun saat ia bicara. Mendapat pertanyaan itu kami hanya menggeleng. Saat itu saya masih semester satu, masih penurut.

Kemudian tiba-tiba sang dosen keluar kelas dan berdiri di pintu. Tangan kirinya menjinjing sebuah tas kulit berwarna hitam. Kami menyebut tas itu sebagai “tas penataran,” karena tas semisal itu sering dibagikan kepada peserta saat ada penataran.

“Sekarang kalian lihat! Saya akan praktikkan cara berwibawa,” kata sang dosen sambil melangkah pelan dari pintu menuju meja yang berada tepat di depan papan tulis ruangan kelas. Kami menyaksikan “demonstrasi” itu dengan saksama. Pada saat kaki kanannya bergerak ke depan, tangan kirinya juga berayun ke depan. Sebaliknya saat kaki kirinya ke depan, tangan kirinya mengayun ke belakang.

“Sudah kalian lihat?” tanyanya lagi. “Sudah, Pak,” jawab kami. Kemudian sang dosen kembali keluar dan berdiri di pintu kelas. “Akan saya ulang. Sekarang kalian perhatikan baik-baik tas yang saya pegang,” perintah sang dosen pada kami.

Sang dosen kembali berjalan sambil menjinjing tas di tangan kirinya. Sesekali dia melirik pada tas itu dan memberi kode agar kami juga ikut melirik. Sebagai mahasiswa yang sami’na wa atha’na kami pun melirik pada “tas penataran” yang dijinjingnya.

Setelah sampai ke meja sang dosen pun duduk. “Nah, begitulah cara agar kita terlihat berwibawa,” kata sang dosen sembari meletakkan tas itu di atas meja. Kami yang tidak paham maksud beliau hanya mengangguk dan menyangka bahwa berjalan santai seperti itulah yang membuat kita berwibawa.

“Kalau kalian mau tampil berwibawa, maka kalian harus selalu membawa tas. Dan ingat! Tas itu harus kalian pegang dengan tangan kiri. Jangan sekalikali tas itu kalian pegang dengan tangan kanan karena pegang dengan tangan kanan itu tidak berwibawa.” Setelah mengucapkan kalimat sedikit panjang itu sang dosen pun kembali berdiri menatap bola mata kami yang penuh kabut.

Sebenarnya saya agak keberatan dengan pernyataan dosen itu karena dia lebih memuliakan tangan kiri dari tangan kanan. Anehnya lagi tangan kanan disebutnya tidak berwibawa. Mungkin inilah yang dimaksud oleh orang-orang bahwa dosen IAIN itu rata-rata sekuler, pikir saya sambil menggigit pulpen. Saya ingin protes, tapi karisma yang terpantul dari wajah dosen itu memadamkan niat saya.

“Coba perhatikan,” ujar sang dosen sambil mengangkat tangan kirinya. “Ini tangan kiri dalam bahasa Aceh disebut wi, jadi kalau kita bawa tas dengan tangan kiri maka kita akan berwibawa.” Kemudian dia mengangkat tangan kanannya. “Ini tangan kanan dalam bahasa Aceh disebut uneun, makanya membawa tas dengan tangan kanan tidak akan ber-wi-bawa, tapi ber-uneun-bawa.” Kemudian dosen kembali duduk dan kami pun kembali mengangguk.

Pada hari itu saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari sang dosen yang selalu membawa tas dengan tangan kirinya. Seolah dia ingin mengatakan bahwa mencitrakan diri sebagai sosok berwibawa memang sangat mudah, semudah membawa tas dengan tangan kiri; yang sulit adalah menumbuhkan kewibawaan dalam diri.

Setelah berdiam diri selama beberapa menit, sang dosen kemudian berceramah panjang lebar tentang wibawa yang harus dimiliki seorang pendidik. Katanya, seorang pendidik harus tampil berwibawa, tapi bukan wibawa yang dibuat-buat.

Dia menentang sikap beberapa oknum yang sok berwibawa di depan umum agar dihormati. Katanya, sikap sok berwibawa justru tidak berwibawa, karena kewibawaan itu tidak bisa dimanipulasi. Kewibawaan itu tumbuh dari hati, bukan dari jas dan dasi.

Pelajaran itu masih saya ingat sampai sekarang. Dan seperti pesan beliau, daripada sok-sok berwibawa, saya lebih memilih membawa tas dengan tangan kiri.

Post a Comment

0 Comments