Siapa Aktivis itu?

Sebagian orang merasa bangga menyebut diri sebagai aktivis, khususnya di depan orang-orang yang dianggapnya bukan aktivis. Sementara sebagian lainnya bersikap lebih lunak dan tidak pernah menyebut diri sebagai aktivis. Namun begitu, kupingnya tetap bergerak dan bahunya meninggi ketika ada orang lain yang menyebutnya sebagai aktivis di hadapan orang-orang.

Secara prinsip, dua tipikal manusia ini sama saja, sama-sama ingin mempertahankan eksistensinya, di mana yang satu langsung melakukan manifesto bahwa dia adalah aktivis, dan yang satunya lagi merasa cukup hanya dengan pengakuan orang lain tanpa harus mengumumkannya kepada dunia.

Lalu, siapa aktivis itu?

KBBI menyodorkan makna aktivis sebagai orang yang aktif dalam keanggotaan organisasi politik, buruh, sosial, petani, pemuda, mahasiswa dan organisasi wanita. Singkatnya semua anggota organisasi adalah aktivis. Jika begitu, anggota keluarga juga bisa disebut aktivis karena ia adalah bagian dari anggota organisasi yang bernama keluarga.

Masih menurut KBBI, aktivis juga dimaknai sebagai sosok yang aktif dalam organisasi dan juga penggerak demonstrasi. Nah, di sini terjadi penekanan pada “aktif” dan “penggerak.” Jadi siapa pun yang aktif adalah aktivis dan siapa pun yang menjadi penggerak demonstrasi juga dapat disebut aktivis, termasuk siswa yang berdemonstrasi menurunkan kepala sekolah.

Kalau mau dilunakkkan lagi, maka siapa pun yang punya aktivitas adalah aktivis. Dengan demikian, kita semua layak menyandang gelar aktivis.

Jika begitu, apa yang hendak dibanggakan? Apa hebatnya seorang aktivis berbangga di hadapan orang lain yang juga seorang aktivis? Dalam kondisi inilah “pr’eeet” menjadi satu-satunya jawaban.

Itu kajian aktivis dalam konteks kebahasaan sebagaimana disodorkan KBBI, yang oleh sebagian orang telah dijadikan sebagai “kitab suci” untuk meluruskan bahasa yang kemudian melahirkan polisi bahasa ~ yang kerjanya mengoreksi status facebook orang lain.

Lantas bagaimana pengertian aktivis dari sisi konsep atawa pendapat ahli?

Tentu ada banyak sekali rumusan pengertian-pengertian rumit yang mereka susun, namun jika dibulatkan akan bermuara pada satu kesimpulan sederhana ~ bahwa aktivis adalah siapa pun yang dengan teguh memperjuangkan kepentingan publik tanpa pamrih, tanpa dibayar, tanpa nasi bungkus, tanpa sertifikasi, tanpa angka kredit, dan tanpa dilandasi perselingkuhan demi kuasa.

Lalu, adakah orang seperti itu? Tentu saja ada dan bahkan ramai. Lantas, apakah kita termasuk kelompok ini? Pastinya butuh riset ke dalam dan mendalam untuk menemukan jawaban yang benar-benar akurat.

Secara faktual kita lebih banyak menemui mantan aktivis daripada aktivis itu sendiri. Silakan lihat kiri dan kanan. Ada mantan aktivis yang jadi gubernur, bupati dan anggota dewan. Mereka adalah mantan aktivis dan bukan aktivis, sebab sejak pantat mereka menduduki kursi kekuasaan atau minimal masuk dalam lingkaran penguasa, sejak itu pula mereka berpisah dengan “aktivisme” dan lalu menjadi sosok-sosok pragmatis ~ yang ketika dikritik akan cepat-cepat menepuk dada sembari berujar “Saya juga aktivis” atau “Saya pernah jadi aktivis.”

Dalam kondisi ini, pengakuan diri sebagai aktivis ternyata hanya soal eksistensi belaka, hanya kebanggaan semu yang tidak memiliki substansi apa pun. Pokoknya aktivis.

Hanya karena pernah terlibat demonstrasi menuntut penurunan SPP sekali seumur hidup yang dikawal Satpol PP tiba-tiba saja mengaku aktivis. Pernah mengkritik pemerintah soal anggaran juga mengaku aktivis. Pernah pegang spanduk di jalan raya pun mengaku aktivis.

Padahal itu hanya sesaat dan dalam waktu yang tidak lama mereka akan segera menjadi mantan-mantan aktivis yang akan kembali mengulang perilaku sosok-sosok yang dulunya pernah mereka kritik dan kecam. Lalu mantan-mantan aktivis ini akan dikritik dan didemo oleh aktivis-aktivis baru yang nanti di masa depan juga akan menempati posisi mantan aktivis yang mereka kritik. Terus saja begitu dari generasi ke generasi.

Jadi, semuanya omong kosong.

Yang penting itu bukan saya aktivis, kamu aktivis atau dia aktivis. Bukan soal eksistensi. Tapi yang semestinya dijaga dan dirawat adalah spirit “aktivisme,” bukan mendaulat diri sebagai aktivis sembari makan jatah rakyat.

Ilustrasi: vegnews

Post a Comment

0 Comments